Bangun! Banjir!

Published: May 22, 2019

Roanne van Voorst

Di Bantaran Kali, portofon (walkie-talkies) memberikan status sosial yang sangat tinggi bagi pemiliknya. Itu karena alat tersebut bisa dipakai untuk menangkap informasi tentang kedatangan banjir. Di kawasan pinggiran sungai tak ada sistem peringatan resmi dari pemerintah. Beberapa tahun lalu pemerintah pernah membelikan pengeras suara dengan alarm yang dipasang di atap masjid, yang seharusnya memberikan peringatan akan datangnya banjir. Sayangnya, pengeras suara itu ternyata tidak kedap air. Saat banjir kembali datang, alat itu rusak dan sampai sekarang tidak diganti lagi.

Dengan portofon, warga kampung bisa berkomunikasi dengan penjaga pintu air yang berada di perbukitan di atas Jakarta. Jika ketinggian air di sana naik, kemungkinan besar Bantaran Kali akan kebanjiran beberapa jam kemudian. Para pemilik portofon menggunakan informasi tersebut supaya bisa secepat mungkin menyelamatkan barang berharga dan anggota keluarga mereka, setelah itu baru memberi peringatan kepada para tetangga.

Ketika saya baru dua minggu tinggal di Bantaran Kali, pintu rumah saya pernah digedor-gedor saat tengah malam. Saya terperanjat bangun dan secepat kilat berdiri tegak. ‘Roanne,’ teriak seorang laki-laki dari balik pintu belakang. ‘Bangun, siap-siap, ada banjir!’

Saya merasa jantung saya berdetak kencang sekali dan saya pandangi sekeliling dengan rasa panik. Banjir. Itu memang pasti akan terjadi, dan karena itulah saya datang ke sini. Toh, tetap saja saya tidak berpikir sama sekali tentang persiapan dalam menghadapi keadaan darurat: saya tidak tahu harus berbuat apa atau harus ke mana untuk menyelamatkan diri. Sampai saat itu saya terlalu sibuk dengan upaya membiasakan diri dengan kehidupan baru di Bantaran Kali. Di samping itu, saya merasa cukup terlindung oleh pengalaman dan pengetahuan yang dipunyai Enin.

Ketika saya mulai menempati rumah itu, sebetulnya Enin masih tinggal di situ. Tapi Enin berjanji akan pindah secepat mungkin.

‘Besok,’ katanya. ‘Besok aku punya rumah baru dan kamu bakal tinggal di sini sendirian.’

Dengan Enin, ‘besok’ itu berarti lebih dari dua minggu. Rumah barunya akhirnya selesai. Sebelum rumah itu selesai, saya menolongnya setiap hari mengambil kayu-kayu yang hanyut di sungai. Papan-papan yang masih bagus diangkut ke atas rumah, lalu bersama dengan beberapa lelaki tetangganya saya memaku papan-papan itu. Akhirnya, setelah tiga belas hari menukang, tiba juga saatnya. Enin pindah ke atas; saya sudah cukup senang akhirnya bisa menikmati privasi di rumah sendiri. Bersama dengan Enin, kami mengosongkan lemarinya dan membawa barang-barang itu ke atas. Televisinya hampir tidak muat di sana, rumah baru Enin lebih kecil dan lebih reot dibanding rumah yang saya tempati. Atap rumah saya terbuat dari lempengan asbes yang bisa melindungi dari hujan tropis, sementara Enin bernaung di bawah lembaran plastik berwarna oranye.

‘Tetap saja, rumahku lebih baik daripada punyamu,’ kata Enin ketika dia melihat saya memandangi atap rumahnya dengan pandangan khawatir. ‘Seperti yang sudah kubilang dan kuramalkan sekali lagi, tunggu saja nanti kalau banjir. Kamu bakal menyesal tinggal di rumah mewahmu di bawah sana, dan nanti pasti pengin berlindung di bawah atap plastikku ini.’

Ramalannya akurat, dan terjadi dalam tempo yang singkat: tepatnya di malam pertama saya tidur sendirian di rumah baru, kali ini tidak terbangun oleh televisi Enin tetapi oleh gedoran keras di pintu depan.

DONG! DONG! DONG! ‘Roanne?’

Saya sibak kelambu yang baru saya pasang di plafon hari itu – bukan untuk melindungi saya dari malaria atau demam berdarah, karena di siang hari pun nyamuk tetap dapat menemukan saya, tetapi untuk memberi rasa aman di antara kecoak-kecoak sebesar ibu jari yang berseliweran di sana. Secepat mungkin saya kenakan kaos dan celana pendek, sambil mencoba memutuskan apa saja yang harus saya bawa. Buku notes berisi catatan-catatan, laptop berisi data, dan kamera. ‘Dompet, paspor,’ saya menggumam keras sambil memasukkan barang-barang berharga itu ke dalam ransel. Hampir semuanya muat di sana. Hanya beberapa buku ajar yang saya tinggal. Terlalu berat, pikir saya, tidak praktis jika harus bergerak cepat.

‘Roanne?’ Kali ini suara seorang perempuan. Enin tidak menunggu jawaban tapi langsung masuk membuka pintu depan yang tanpa kunci, privasi adalah sesuatu yang tidak penting buat warga Bantaran Kali, lain halnya buat saya. Enin melangkah masuk dengan daster putihnya. ‘Kasur nanti mesti dinaikkan,’ katanya.

Sebelumnya, dia memang pernah menjelaskan bahwa kasur itu digantungkan dengan tali di plafon saat banjir. Itu sebabnya terpasang empat buah sekrup di sana. Salah satunya, sekarang saya pakai untuk menggantung kelambu.

‘Apaan, tuh, yang kamu gantung di sana?’ ketika matanya menemukan kelambu, dia memandangnya dengan pandangan mencemooh. ‘Memangnya orang Belanda suka itu? Orang sini, sih, lebih suka menggantung lukisan biar rumahnya kelihatan mentereng.’ Dia menguap panjang dan memberi tanda ke arah kakus. ‘Kencing dulu, baru masak, kemudian makan, dan baru menaikkan kasur,’ katanya memberi instruksi.

‘Barang-barang lainnya bagaimana?’ tanya saya, ‘Memangnya tidak harus segera diungsikan? Sudah kelihatan airnya di luar?’

Hendra A Setyawan @Flickr

Enin menyiramkan seember penuh air ke dalam kloset. Dengan wajah capek dia menggelengkan kepala dan mulai memakaikan kerudung di kepala saya. ‘Ah, nggak perlu,’ sahutnya. ‘Kita masih punya banyak waktu. Banjir itu baru datang lima setengah jam lagi. Ini banjir besar, jadi kamu mesti memperhitungkan kalau tempat ini sedikitnya bakal seminggu terendam air. Memang mereka nggak bilang itu ke kamu? Orang-orang yang punya walkie-talkie? Mereka itu tahu semuanya.’ Beberapa helai rambut saya yang terlepas dia selipkan ke dalam kerudung, kemudian dia menyerok beras dari karung ke dalam takaran. ‘Bahkan hal-hal yang terkecil pun mereka tahu. Mereka itu kayak dukunnya banjir, makanya mereka jadi orang penting di Bantaran Kali. Lebih penting dibanding kepala kampung dan sesepuh kampung. Orang-orang yang punya walkie-talkie itu tahu persis kapan air sungai meluap dan berapa lama lagi kaki kita bakal terendam air. Atau boleh dibilang: berapa lama kau bakal terendam air.’ Enin menuangkan beras dari takaran ke dalam penanak nasi elektrik dan memandangi saya penuh kemenangan. ‘Kecuali jika kamu mau berlindung di tempatku, nanti malam dan malam-malam berikutnya.’ Dia menggerakkan kepala ke belakang dan tawanya meledak.

Tak heran kalau Yusuf mau membayar mahal untuk sebuah portofon. Dia adalah penduduk kesembilan yang memilikinya. Orang pertama yang bangga jadi pemiliknya – mantan kepala kampung – tidak membelinya sendiri, tetapi mendapatkannya dari pejabat yang bertanggungjawab untuk kawasan itu. Bersama dengan pengeras suara yang dipasang di atas masjid, portofon itu diharapkan bisa berfungsi sebagai peringatan jika terjadi banjir. ‘Butuh berminggu-minggu buatku untuk memahami cara kerja alat itu,’ kata Bapak mantan kepala kampung kepadaku saat saya wawancara. ‘Pejabat itu sebetulnya memberiku buku petunjuknya, tapi aku nggak pernah sekolah, jadi nggak bisa baca. Aku putar-putar terus tombolnya sampai dengar suara di antara bunyi berisik itu – baru waktu itu aku bisa menangkap percakapan penjaga pintu air. Sayangnya, tangkapan sinyalnya biasanya jelek sekali, dan seringkali hanya sedikit kata-kata mereka yang bisa kupahami, jadinya alat itu akhirnya kumatikan dan nggak pernah kupakai lagi.’

Waktu itu tahun 2000. Dua tahun kemudian banjir besar melanda kampung, dan baik portofon maupun pengeras suara, rusak. Bapak kepala kampung tidak bisa menangkap peringatan yang diberikan penjaga pintu air; sehari sebelumnya penerimaan sinyalnya begitu jelek sehingga untuk kesekian kalinya portofonnya dia matikan.

Setelah banjir besar tersebut, pemerintah mengubah kebijakan. Takkan ada lagi anggaran dari pemerintah untuk membeli sistem peringatan dini di perkampungan liar di daerah aliran sungai yang rawan banjir, begitu keputusan mereka. Resminya, kawasan tersebut adalah lokasi yang tidak diperuntukkan untuk hunian. Menurut rencana tata kota yang memuat kebijakan pemerintah daerah Jakarta sejak 2005 hingga 2030, daerah aliran sungai harus dibiarkan kosong, atau hanya boleh ditumbuhi tanaman. Jadi warga harus mengurus diri mereka sendiri.

Tulisan ini dikutip dari: Roanne van Voorst, Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018). Asli Belanda: De Beste Plek ter Wereld: Leven in de Sloppen van Jakarta (Amsterdam, Brandt, 2016).

Roanne van Voorst (info@roannevanvoorst.com) seorang peneliti di Belanda. Buku tersebut berdasarkan penelitian etnografis mengenai sebuah kampung Jakarta yang sering dilanda banjir, yang ditulis dalam disertasi Roanne berjudul ‘Get ready for the flood! Risk-handling styles in Jakarta, Indonesia’ (PhD, University of Amsterdam, 2014).

English version

Inside Indonesia 136: Apr-Jun 2019