#StayAlive

Published: Jan 30, 2019

Rizanna Rosemary, Pradytia Pertiwi and Inri Denna

Insiden bunuh diri tragis Jong Hyun, anggota boyband populer Korea SHINee, mengejutkan para penggemar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Beritanya jadi viral, dan pasca mengetahui kematian Jong Hyun, dua penggemar dari Indonesia melakukan percobaan bunuh diri. Sumber berita dari Asia menamakan fenomena ini sebagai ‘Werther effect’, yang juga dikenal dengan bunuh diri tiruan.

Pada zaman di mana pesan instan dan internet mendominasi, media berperan dalam meningkatkan risiko bunuh diri dan tindakan menyakiti diri sendiri pada remaja yang rentan. Namun, internet dan media sosial juga dapat digunakan untuk mendobrak stigma dan misinformasi tentang bunuh diri, serta menumbuhkan kesadaran akan isu tersebut pada generasi muda di Indonesia.

Bunuh diri pada generasi muda

Tindakan bunuh diri adalah permasalahan kesehatan global dan merupakan penyebab kematian paling umum kedua pada orang-orang berusia 15 sampai 29 tahun di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 78 persen dari seluruh kasus bunuh diri di tahun 2016 terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs). Meskipun terdapat korelasi kuat antara bunuh diri dan permasalahan kesehatan jiwa di negara berpendapatan tinggi, tindakan bunuh diri di LMICs cenderung diperparah oleh stigma sosial dan kesulitan untuk berbicara secara terbuka tentang bunuh diri dengan teman dan keluarga. Hasil riset mengindikasikan bahwa anak muda cenderung terpengaruh bunuh diri di media dibandingkan dengan orang dewasa. Paparan dini terhadap konten media tentang bunuh diri dilaporkan meningkatkan kemungkinan terbentuknya ide bunuh diri dalam jangka panjang pada remaja, dan bahkan percobaan bunuh diri di masa dewasa.

WHO memperkirakan angka bunuh diri pada orang Indonesia adalah 3,4 per 100,000 orang. Namun, ada kemungkinan bahwa angka sesungguhnya lebih tinggi, mengingat bunuh diri kerap tidak diidentifikasi sebagai penyebab kematian selama proses registrasi kematian. Pada saat penyebab kematian tidak diketahui, besar kemungkinan dokter yang cakap tidak tersedia untuk melakukan pemeriksaan. Data nasional tindakan bunuh diri pada kaum muda tidak ada di Indonesia. Namun, riset mengenai bunuh diri kelompok muda di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Menurut survei yang dilakukan pada lebih dari 400 penduduk usia muda di Semarang, Jawa Tengah, satu dari tiga pemuda pernah memiliki ide atau pemikiran untuk bunuh diri di masa lalu. Orang-orang ini paham akan metode bunuh diri, yang sering mereka pahami dari pemberitaan kasus bunuh diri di media. Ide dan percobaan bunuh diri juga ditemukan pada kaum muda di bagian lain di Indonesia. Percobaan bunuh diri didorong oleh faktor-faktor seperti depresi dan permasalahan kesehatan jiwa lainnya, permasalahan keluarga, kegagalan personal dan rasa kesepian. Temuan yang paling mengkhawatirkan adalah orang berusia muda cenderung menyimpan sendiri pemikiran bunuh diri mereka daripada bercerita dengan orang lain, sehingga risiko bunuh diri tidak terdeteksi.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa stigma sosial yang ada tentang bunuh diri mencegah kaum muda yang suicidal untuk berbicara secara terbuka dan mencari bantuan. Bunuh diri masih menjadi subjek yang tabu di Indonesia. Kesalahan tafsir masyarakat tentang peraturan agama berperan pada timbulnya stigma tersebut. Misalnya, terdapat sebuah ayat di Al-Qur’an yang melarang bunuh diri: ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu [atau satu sama lain]’ (QS 4:29). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat melarang tindakan bunuh diri. Terlebih lagi, Muhammad al-Bukhari dan Muslim ibn al-Hajjaj, dua cendekiawan sejarah Muslim ternama, mengutarakan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad menyatakan bunuh diri sebagai sebuah dosa: ‘Barang siapa membunuh dirinya dengan besi akan memiliki besi tersebut di tangannya, dan menusukkannya ke dalam perutnya di api neraka untuk selama-lamanya...atau akan dihukum dengan besi tersebut pada Hari Kebangkitan.’ Banyak dari mereka, termasuk keluarga dari orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri, memahami pesan hadis tersebut sebagai ‘bunuh diri berarti neraka’ dan menggunakan frasa tersebut untuk menghakimi dan mencela para korban atas kurangnya iman pada Tuhan daripada berupaya mencegah mereka mencoba bunuh diri.

Korban dan penyintas bunuh diri dipandang sebagai ‘pelaku kejahatan’, dan perilaku mereka dikecam sebagai sebuah penyimpangan. Demikian juga, riset yang melibatkan keluarga korban bunuh diri menunjukkan bahwa anggota keluarga dan teman disalahkan karena gagal mencegah ‘bunuh diri’. Praktik ‘victim blaming’ atau menyalahkan korban dianggap dapat menciutkan hati orang-orang dengan kecenderungan bunuh diri dan gangguan kesehatan jiwa untuk mencari bantuan. Praktik tersebut juga mencegah keluarga dan teman yang tengah berduka untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi serta mendiskusikan isu tersebut secara terbuka. Seorang penyintas berusia 19 tahun berkata, ‘Sejak tahun 2012, saya selalu merasa cemas dan depresi. Tetapi, saya merasa takut untuk diperiksa oleh ahlinya atau membicarakan masalah kesehatan jiwa saya dengan keluarga karena saya khawatir mereka akan menyalahkan saya. Saya pernah mencoba bunuh diri di tahun 2017, dan sejak saat itu saya tidak pernah berhenti memikirkan cara untuk mengakhiri hidup saya.’

Inisiatif pemerintah yang tidak mumpuni

Undang-Undang No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur sosialisasi, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi gangguan jiwa, namun tidak membahas mengenai bunuh diri. Hal ini menciptakan hambatan struktural yang membatasi upaya sistematis untuk mengatasi risiko bunuh diri. Tindakan bunuh diri tidak mendapatkan tingkat pendanaan dan perhatian yang sama dengan isu lain yang membahayakan kelompok usia muda, seperti penyalahgunaan obat. Hingga saat ini, upaya pemerintah terkait bunuh diri pada kaum muda dan permasalahan kesehatan jiwa disempitkan pada penyediaan perawatan bagi mereka yang bertendensi bunuh diri, seraya mengabaikan isu lebih besar yang mendasari percobaan bunuh diri pada pemuda di negara ini, yaitu stigma terkait bunuh diri. Terlebih lagi, pendekatan pemerintah yang terfokus pada media non-interaktif dapat dibilang sudah usang dan tidak menarik kelompok usia muda.

Misalnya, di tahun 2010, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendirikan hotline khusus yang menawarkan konseling gratis bagi mereka yang mengalami depresi atau berisiko bunuh diri. Namun, respon publik terbilang rendah: 161 orang menggunakan layanan ini di tahun pertama, dan butuh dua tahun sebelum angka ini berlipat menjadi 347 orang di tahun 2012. Layanan ini tidak berlangsung lama. Di tahun 2014, jumlah pengguna menurun hingga hanya 46 orang, dan Kemenkes menutup layanan tersebut. Kemenkes melaporkan bahwa respon yang muncul didominasi oleh penelepon yang mencari informasi umum tentang isu kesehatan jiwa, daripada mencari konseling untuk pemikiran bunuh diri. Bukannya menganggap respon ini sebagai hasil positif dalam menciptakan kesadaran tentang bunuh diri, Kemenkes menganggap layanan ini tidak efektif. Saat menutup layanan ini, Kemenkes meminta mereka yang membutuhkan konseling untuk berkonsultasi dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat. Pendekatan pemerintah terus difokuskan secara sempit pada perawatan dan mengabaikan strategi-strategi pencegahan dini, seperti mengatasi adanya stigma lebih luas tentang bunuh diri.

Sebuah aplikasi bertajuk ‘Sehat Jiwa’ diluncurkan oleh Kemenkes di tahun 2015, dan memperoleh respon lebih baik. Pada bulan Oktober 2018, 1000 pengguna telah mengunduh aplikasi tersebut. Sehat Jiwa ditujukan untuk mengurangi jumlah bunuh diri yang berhubungan dengan kesehatan jiwa. Aplikasi ini menyediakan informasi dan pendidikan tentang permasalahan kesehatan jiwa paling umum seperti stres, kecemasan, gangguan tidur dan depresi. Aplikasi ini juga mengandung fitur screening deteksi dini permasalahan kesehatan jiwa dan sistem referensi untuk tindakan lebih lanjut. Sehat Jiwa juga dapat digunakan oleh masyarakat atau keluarga untuk melaporkan mereka yang diduga berisiko melakukan percobaan bunuh diri, yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh baik ahli maupun institusi kesehatan atau Satpol PP. Namun, intervensi berbasis teknologi yang sekilas tampak komprehensif ini tidaklah bersifat interaktif. Aplikasi tersebut tidak menyediakan ruang bagi pengguna untuk mengajukan pertanyaan dan mendiskusikan isu bunuh diri serta permasalahan kesehatan jiwa lebih jauh, seperti hasil pemeriksaan dini yang krusial untuk mencegah bunuh diri. Sebagaimana yang diceritakan oleh penyintas berusia 19 tahun di atas, kesulitan untuk mengomunikasikan permasalahan kesehatan jiwa merupakan tantangan utama yang menghambat mereka dalam menemukan pertolongan untuk mencegah pembentukan dini ide bunuh diri.

Di negara yang berpenduduk lebih dari 260 juta jiwa ini, jumlah respon terhadap dua layanan di atas terbilang sangat rendah. Program-program pemerintah mengabaikan media sosial - platform online paling populer dan interaktif yang diakses oleh penduduk berusia muda untuk mencari informasi, bersosialisasi dan membangun hubungan. Secara global, terdapat pertumbuhan tren penggunaan media sosial untuk promosi program intervensi terkait kesehatan yang menarget kelompok muda, termasuk kesehatan seksual dan pencegahan bunuh diri. Fitur interaktifnya memungkinkan kelompok ini untuk berhubungan dan terlibat dengan mereka yang memiliki ketertarikan serupa. Fitur ini juga memberi ruang untuk berbagi pengalaman (yang seringnya terjadi dalam setting anonim), yang membawa dampak positif dalam meningkatkan kesadaran akan isu-isu tersebut. Sebuah survei di tahun 2017 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menemukan bahwa 132,7 juta warga Indonesia menggunakan internet, yang mana 49,5 persen berusia 19 sampai 34 tahun. Mengakses konten media sosial merupakan aktivitas online paling umum kedua yang dilakukan kaum muda setelah chatting. Hal ini mengindikasikan potensi media sosial untuk menangani bunuh diri pada kaum muda di Indonesia.

De-stigmatisasi narasi ‘masuk neraka’

Kekuatan media sosial telah diakui oleh sejumlah inisiatif berbasis komunitas yang mempromosikan pencegahan bunuh diri dan menangani permasalahan kesehatan jiwa. Setidaknya delapan kelompok komunitas penyedia pendidikan, advokasi dan dukungan pada isu tersebut telah muncul pada beberapa tahun belakangan. ‘Into the Light’ adalah komunitas inklusif pertama yang digerakkan oleh kelompok muda yang secara spesifik fokus pada pencegahan bunuh diri. Maraknya dampak negatif stigma sosial tentang bunuh diri dan minimnya perhatian aktivis kesehatan serta pemerintah dalam menangani isu tersebut mendorong Benny Prawira Siauw untuk mendirikan komunitas ini di tahun 2013. Into the Light dimulai sebagai sebuah laman Facebook, dan telah berkembang ke Twitter dan Instagram. Saat ini, komunitas tersebut telah memiliki lebih dari 8000 pengikut di Facebook, hampir 6000 pengikut di Instagram dan lebih dari 4000 pengikut di Twitter, yang mayoritas merupakan kaum muda. Secara garis besar, Into the Light fokus untuk meningkatkan kesadaran dengan cara mengunggah artikel, cerita atau infografis secara berkala, yang berisi fakta-fakta serta informasi terkait kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Beberapa hashtag yang kerap digunakan adalah #StayAlive dan #PreventSuicide.

Sebagai contoh, pada Hari Pencegahan Bunuh Diri di tahun 2018, Into the Light menyediakan spanduk ‘Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia’ yang dapat di edit, di mana pengikut mereka bisa menambahkan pesan positif dan membagikannya secara online menggunakan hashtag #CegahBunuhDiri. Unggahan tersebut disukai oleh 359 orang di Instagram, dan 126 pengikut merespon di Twitter dengan spanduk yang telah dibuat khusus. Spanduk tersebut mempresentasikan pesan personal mereka untuk mendukung rekan-rekan mereka yang memiliki pemikiran bunuh diri. Sebagaimana yang dibagikan oleh seorang pengikut, ‘Kamu tidak harus berjuang sendirian, kami ada di sini untukmu.’ Contoh lain adalah sebuah infografis berjudul ‘Menghadapi Rekan Suicidal,’ yang dibagikan oleh 1726 orang di Facebook dan memantik diskusi online lebih lanjut. Seorang pengguna dapat berkomentar, ‘Saya ingin mengetahui cara menangani pemikiran bunuh diri kita sendiri,’ dan admin Into the Light atau pengikut lainnya dapat merespon. Beberapa pengikut mengunggah komentar-komentar berisi dukungan, seperti ‘Kita tidak dapat menghindari masalah, namun bunuh diri juga bukanlah sebuah solusi’. Unggahan media sosial memungkinkan pengikut muda mendapatkan pemahaman mengenai isu bunuh diri, membangun rasa percaya dan mendapatkan dukungan sosial, yang lalu dapat mendorong diskusi lebih lanjut tentang topik bunuh diri yang sebelumnya tidak dibicarakan. Ruang seperti ini tidak ditawarkan pada inisiatif pemerintah yang ada.

Organisasi milik Benny ini juga berupaya mempengaruhi mediamainstream yang kerap menyebarkan stigma negatif seperti victim blaming melalui liputan bunuh diri mereka yang tidak sensitif dan sensasional. Benny mengatakan bahwa liputan media mainstream tentang bunuh diri kerap menampilkan foto-foto yang mengkhawatirkan dari pihak yang meninggal dunia dan memaparkan detil metode bunuh diri yang digunakan. Hal tersebut dapat mempengaruhi kaum muda untuk membentuk ide bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri tiruan. Saat ini, Benny mendukung media dengan cara memproduksi panduan yang memberikan rekomendasi untuk pemberitaan kasus bunuh diri, termasuk untuk menghormati identitas dan privasi korban. Ia berharap panduannya dapat mendorong media untuk memberikan informasi yang dapat lebih dipercaya dan lebih sehat tentang isu ini.

Dukung #StayAlive

Media sosial merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi ia memiliki peran untuk memantik ide bunuh diri pada kaum muda tetapi pada saat bersamaan memiliki kekuatan untuk menekan stigma. Mengingat lebih banyak kaum muda menjangkau Into the Light dan inisiatif serupa lainnya melalui platform interaktif media sosial, pemerintah dapat mulai memperhatikan kemajuan yang dicapai oleh inisiatif-inisiatif grassroot dan berinvestasi dalam pendekatan berbasis media sosial. Kolaborasi dengan komunitas online yang sudah ada dapat menjadi salah satu cara pemerintah berkampanye untuk meningkatkan kesadaran dan menerapkan program yang mendukung pesan positif untuk tetap hidup. Pendekatan ini tidak akan hanya meningkatkan respon terhadap program pencegahan bunuh diri, tetapi juga dapat menyelamatkan nyawa.

Rizanna Rosemary (rizanna.rosemary@sydney.edu.au) adalah kandidat PhD di Departemen Media dan Komunikasi, Fakultas Seni dan Ilmu Sosial, University of Sydney.

Pradytia Pertiwi (pradytia.putri@gmail.com) adalah kandidat PhD di Pusat Penelitian dan Kebijakan Disabilitas, Fakultas Ilmu Kesehatan, University of Sydney.

Inri Denna (inridenna@gmail.com) memiliki gelar Master of Health Communication, dan merupakan alumni University of Sydney. Saat ini Inri bekerja di Kementerian Kesehatan Indonesia.

English version

Inside Indonesia 134: Oct-Dec 2018