Sudahkah ekstraksi sumber daya alam mengentaskan kemiskinan?

Published: Apr 20, 2018

Ryan Edwards

Jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998 serta demokrasi dan desentralisasi yang terjadi setelahnya menghasilkan dua lonjakan sumber daya, yaitu pertama pada sektor pertambangan, termasuk minyak, gas, batu bara, dan mineral; dan kedua sektor perkebunan, termasuk pemrosesan dan ekspor kelapa sawit. Indonesia adalah penyedia minyak kelapa sawit dan batu bara terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sebagai negara yang ekonominya paling bergantung pada sumber daya alam.

Walaupun kedua lonjakan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh besarnya permintaan eksternal dari ekonomi yang sedang berkembang, desentralisasi memungkinkan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya alam. Pada saat itu, pemberantasan kemiskinan merupakan kebijakan sosial utama dari dua presiden terakhir Indonesia. Tingkat kemiskinan turun dari 23 persen pada 1999 menjadi 11 persen pada 2014, meninggalkan sepertiga dari populasi, atau sekitar 100 juta penduduk, tetap di bawah, atau rentan untuk jatuh di bawah garis kemiskinan. Lalu, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya alam ini mempengaruhi usaha pemberantasan kemiskinan?

Kita harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan ini karena pengaruh pembangunan yang digerakkan oleh sektor sumber daya alam di Indonesia belum dipahami dengan baik. Efek timbal balik yang muncul dari pihak lokal, regional, dan nasional belum dapat dipisahkan. Kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini hanya dengan membandingkan keadaan ekonomi sebelum dan setelah adanya proyek pertambangan atau dengan membandingkan keadaan ekonomi daerah yang memiliki tambang dan tidak.

Sulit – jika masih mungkin – untuk memisahkan faktor-faktor ketika menganalisa dampak pembangunan yang digerakkan sektor sumber daya alam. Daerah yang mengalami lonjakan sumber daya seringkali memiliki tahap awal dan tahapan pembangunan yang berbeda. Terkadang, hal ini memicu ekstraksi sumber daya alam itu sendiri. Terkadang, suatu daerah bergabung dengan yang lainnya sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi nasional dan program sosial, terlepas dari aktivitas penambangan. Hasil dari studi empiris dan opini yang dibentuk mengenai hal ini harus mampu dilihat dengan rasa skeptis yang memadai.

Lapangan kerja lokal, investasi, dan kerentanan sosial

Pengaruh pembangunan terhadap sektor sumber daya alam dapat dikelompokkan menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung dapat mencakup lapangan kerja, investasi, dampak sosial dan pencemaran sosial pada komunitas lokal. Pengaruh tidak langsung dapat melalui redistribusi atas pendapatan pemerintah dan melalui lonjakan penduduk yang bekerja di bidang non sumber daya. Besarnya pengaruh ini dan apakah mereka merupakan pengaruh positif, negatif, atau netral ditentukan oleh konsentrasi sumber daya alam yang bersangkutan.

Saya meneliti dampak pembangunan yang digerakkan oleh sektor sumber daya alam melalui studi kasus kuantitatif dalam tesis PhD saya. Proyek gas alam raksasa di Teluk Bintuni di Papua – sebuah proyek yang sanga terkonsentrasi dan padat modal – nampak tidak memiliki pengaruh kasat mata pada kesejahteraan sosial dan tingkat kemiskinan di sekitarnya. Tambang batu bara di distrik Tapin, Kalimantan Timur, yang lebih tidak terkonsentrasi, terlihat mampu membantu pengentasan kemiskinan lokal.

Hanya sedikit bukti sistematis yang menyatakan bahwa pembangunan berbasis pertambangan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pemberantasan kemiskinan. Pada 2015, sebuah studi pada tingkat propinsi yang dilakukan oleh Sambhit Bhattacharyya dan Budy Resosudarmi menemukan bahwa pembangunan berbasis tambang tidak memiliki dampak yang jelas terhadap kemiskinan dan percepatan pertumbuhan di sektor pertambangan justru memperburuknya. Sebaliknya, mereka menemukan bahwa pembangunan yang tidak berbasis tambang memiliki hubungan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan.

Untuk membandingkan, mari kita gunakan contoh sumber daya alam lain, yaitu kelapa sawit. Selama dua dekade terakhir, produksi minyak kelapa sawit meningkat tajam. Hal ini terutama melalui meningkatnya area perkebunan, yang menggunakan banyak area hutan dan lahan untuk meningkatkan produksi tanaman yang padat karya dan lahan ini. Ketika menjual buah hasil panen ke rantai pasokan global, petani membutuhkan akses langsung kepada pengolah (atau tidak langsung, misalnya melalui pedagang atau jalan pemuatan) dan kemampuan untuk mengangkut buah ke pabrik dalam waktu 48 jam setelah panen. Memahami bahwa mereka bergantung pada pasokan dari petani-petani kecil, perusahaan swasta bersedia melakukan investasi pada infrastruktur daripada menunggu tindakan pemerintah.

Berkebalikan dengan pertambangan, sebuah studi empiris menyatakan bahwa lonjakan minyak kelapa sawit dapat mengurangi kemiskinan lokal, memperbaiki tingkat nutrisi, dan memberikan dampak positif yang jelas kepada komunitas penanam di sekitarnya. Pada level tertentu, hal ini merefleksikan pergeseran dari sektor yang dulu didominasi oleh perkebunan industri besar ke subsektor yang lebih bergantung pada para petani kecil independen – baik petani baru maupun petani lama yang memperluas lahannya. Petani kecil dan perkebunan besar kelapa sawit dapat dianalogikan sebagai aktivitas penambangan artisan dan skala besar. Dengan begitu, akan berpotensi munculnya difusi yang lebih besar pada pengaruh lokal dengan semakin banyaknya penduduk yang terlibat dalam rantai pasokan dan semakin besarnya investasi yang diberikan pada infrastruktur lokal untuk mendukung para pemasok kecil.

Pengaruh pada fasilitas lokal

Di Indonesia, penambangan sumber daya alam seringkali didasari pada kepentingan nasional yang ada pada konstitusi. Kebijakan di bidang sumber daya alam berfokus pada distribusi manfaat atas kekayaan alam negara bagi generasi sekarang dan selanjutnya. Namun, walaupun tingkat kemiskinan telah menurun selama masa lonjakan sumber daya alam, ketimpangan justru meningkat secara dramatis. Bhattacharyya dan Resosudarmo menemukan bahwa pertumbuhan yang tidak bersumber pada pertambangan memiliki hubungan terhadap turunnya ketimpangan sosial, sedangkan pertumbuhan yang bersumber pada pertambangan tidak memiliki pengaruh. Jika lonjakan ekonomi lokal meningkatkan potensi pendapatan pemerintah lokal, maka daerah yang mengalami lonjakan tersebut hendaknya mampu membangun fasilitas lokal tambahan, sebuah pertimbangan penting ketika pengadaan fasilitas lokal telah didesentralisasi.

Penambangan sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada daerah sekitar seharusnya, paling tidak dalam teori, mampu untuk menurunkan permintaan terhadap fasilitas sosial, sedangkan penambangan yang memberikan efek negatif justru memicu permintaan yang lebih tinggi. Pada kasus apa pun, jika pemerintah lokal secara efektif mampu menarik pajak dari investor, pemerintah hendaknya memiliki kapasitas yang lebih besar terhadap pemerataan dan perbaikan terhadap penyampaian fasilitas lokal. Implementasi dari hal ini memang masih dipertanyakan dan biasanya berbeda pada setiap daerah. Di Papua, Tom Pepinsky menemukan dampak yang berkebalikan: lonjakan pendapatan yang berbasis sumber daya justru diikuti oleh lambatnya pertumbuhan pasokan listrik di daerah tersebut.

 

Tembagapura, kota lokasi PT Freeport di Indonesia. Penelitian menemukan bahwa meningkatnya pendapatan berbasis sumber daya justru diikuti oleh lambatnya pertumbuhan pasokan listrik di Papua (Wikimedia Commons).

Selain pengaruh langsung terhadap komunitas lokal dan pengaruh fiskal, pengaruh terhadap sektor ekonomi lainnya juga tak kalah penting. Pengaruh ini biasanya dapat dilihat melalui teori ‘Dutch disease’, dimana lonjakan sektor sumber daya diikuti oleh penurunan di sektor lainnya, misalnya manufaktur. Padahal sektor lain ini seringkali mampu memberikan lapangan kerja yang banyak dan lebih baik.

Pengaruh pada sektor non pertambangan

Pada studi kasus yang telah dibahas di atas, saya menemukan bahwa tiap lonjakan sumber daya mempengaruhi sektor ekonomi lain secara berbeda. Walaupun penambangan dan ekstraksi gas alam mampu mendorong dan memperbaiki sektor-sektor yang terlibat langsung, biasanya hal ini justru melemahkan sektor pertanian. Hal ini hendaknya menjadi pertimbangan untuk kebijakan anti kemiskinan karena sektor pertanian merupakan sumber utama kehidupan di daerah pedesaan, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Dampak di sektor manufaktur tidak mampu dilepaskan dari manufaktur non-tambang karena pemrosesan hasil tambang diklasifikasikan ke dalam sektor manufaktur dalam pendapatan negara. Studi juga hanya menemukan sedikit pengaruh pada sektor jasa.

Dalam studi terkini, James Cust, Torfinn Harding dan Pierre-Louis Vezina menganalisa pengaruh lonjakan minyak dan gas pada perusahaan manufaktur. Menggunakan data dari Sensus Manufaktur Indonesia dan data perusahaan mengenai produksi dan eksplorasi minyak dan gas, mereka menemukan bahwa lonjakan minyak dan gas menuntun kepada kenaikan produksi perusahaan, gaji dan produktivitas karyawan. Hasil ini membuktikan bahwa perusahaan telah mampu mengatasi dampak negatif dari lonjakan sumber daya dengan mengkapitalisasi lonjakan permintaan lokal yang disebabkan lonjakan sumber daya dan dengan meningkatkan produktivitas. Walaupun studi-studi ini menunjukkan hasil yang baik, namun pada kenyataannya daerah yang pendapatannya lebih bergantung pada minyak, gas, dan penambangan batu bara serta mineral, cenderung memiliki tingkat kesehatan dan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan daerah yang memiliki pendapatan sama namun tidak bergantung pada sumber daya.

Lain halnya dengan lonjakan minyak kelapa sawit, daerah yang dengan cepat memperluas lahan perkebunan minyak kelapa sawitnya selama tahun 2000-an menikmati peningkatan produksi dalam bidang pertanian dan manufaktur, walaupun tidak ada perbaikan dari sektor jasa. Studi juga menunjukkan adanya peningkatan pasokan listrik dan perbaikan jalan, yang menunjukkan adanya pendistribusian manfaat ke sektor lain, karena kedua hal ini sering dipandang sebagai hambatan bagi pertumbuhan ekonomi di desa.

Salah satu temuan menarik pada penelitian di bidang ini adalah bahwa anak-anak yang berasal dari desa dengan produksi kelapa sawit yang baik pada umumnya mengenyam pendidikan di kota. Ketika ditanya apakah mereka akan kembali ke perkebunan, sebagian besar jawaban mereka adalah semoga tidak. Lalu, siapa yang akan mengurus perkebunan nantinya? “Oh, itu bukan masalah.” Bagaimana lonjakan sumber daya – baik perkebunan padat karya maupun pertambangan padat modal – memiliki pengaruh terhadap perkembangan sumber daya manusia merupakan masalah yang rumit dan penting yang memerlukan kajian lebih lanjut serta perhatian lebih dari sistem kebijakan.

Kesimpulannya, apakah/sudahkah ekstraksi sumber daya alam berhasil mengentaskan kemiskinan pasca masa kepemimpinan Suharto? Kita dapat mengatakan bahwa lonjakan kelapa sawit telah membuat kontribusi signifikan pada pengentasan kemiskinan di daerah sekitarnya, namun bagaimana ia mempengaruhi kesejahteraan pada masyarakat miskin di daerah lain masih merupakan pertanyaan. Terkait pertambangan, hanya sedikit bukti nampaknya kecil kemungkinan bahwa pertumbuhan yang digerakkan oleh sektor pertambangan memiliki kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan. Dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan sosial terkini dan dampak dari sektor ekstraksi sumber daya alam pada lingkungan, maka melambatnya pertumbuhan permintaan ekspor atas hasil tambang Indonesia justru dapat dilihat sebagai sebuah kesempatan.

Ryan Edwards (ryan.b.edwards@dartmouth.edu) adalah seorang ahli ekonomi pembangunan di Dartmouth College, Hanover, New Hampshire, US. Twitter: @ryanbedwards

This article is also available in English.

Inside Indonesia 130: Oct-Dec 2017