Diplomasi pendopo dan gamelan sekar laras

Published: Feb 16, 2018

Duncan Graham 

Anton Lucas menghabiskan masa hidupnya yang berharga untuk memperbaiki hubungan Indonesia-Australia. Pengajar di Yogyakarta dan Makassar ini, menjalankan program Studi Asia di Australia selama 30 tahun. Selain, banyak menulis  selama setengah abad ini, karya tulisnya sangat mengilhami para pencari kebenaran tentang Indonesia.

Seorang akademisi tangguh yang cukup membuktikan diri sebagai seorang siswa hingga melampaui masa usia pensiun 70 tahun. Meskipun didorong oleh kekuatan iman Lucas menampik melakukan ceramah keagamaan.  Dia dididik sebagai seorang Protestan, Lucas menyebut dirinya lebih sebagai seorang Buddhis Kristen. Anak lelakinya seorang biksu Buddha di Indonesia, sedangkan anak perempuannya seorang pembuat film.

Koleksi dokumentasinya yang langka berasal dari periode awal pasca-Proklamasi, meliputi rekaman-rekaman suara dan transkrip-transkrip yang diserahkan ke perpustakaan Universitas Flinders, di Adelaide, Australia Selatan, serta katalognya yang akan dipublikasikan secara online.

Dokumen-dokumen tersebut ia kumpulkan saat wawancara dengan 324 orang yang lolos dari peristiwa tahun 1945 Revolusi dalam Revolusi di sekitar Pekalongan, Jawa Tengah.

Monografnya berjudul Peristiwa Tiga Daerah (Three Regions Affair/1989), menceritakan tentang bentrokan antara elite penguasa dengan warga, disusul dengan runtuhnya kependudukan Jepang. Lucas menceritakan buku berikutnya, Satu Jiwa, Satu Perlawanan (One Soul, One Struggle) yang diterbitkan tahun 1991 dan akan dirilis ulang, sebagai upaya pencapaian yang signifikan.

Pendopo dan Gamelan Sekar Laras 

Menariknya lagi, Lucas meninggalkan warisan arsitektur berharga di Universitas Flinders, Adelaide, berupa pendopo. Bangunan  kubus dari bahan kayu yang disokong empat tiang tinggi ini dibangun untuk menciptakan rasa tenang dan persatuan meski ada beberapa perbedaan dalam gaya hidup, pandangan dunia, dan adat istiadat setempat.

Pendopo adalah tempat kebersamaan (yang umum didatangi) pengunjung dan warga lokal untuk mencari solusi dan jawaban dari permasalahan umum, sekaligus menetapkan peraturan bagi yang lainnya.

Pendopo sumbangan Anton ini dilengkapi dengan seperangkat gamelan Sekar Laras (keselarasan yang tengah mekar/berkembang) dari Jawa Tengah, yang biasa digunakan oleh para siswa, guru, dan anggota diaspora Indonesia di sana.

Pendopo dengan dinding-dinding kaca yang dapat dilipat saat musim panas dan (alunan) musik metalik dari hamparan tanah yang subur dan mengendap di antara akar-akar kayu putih yang mencakar di tanah gersang menjadi latar belakang pendopo ini berada.

“(Hadiah tersebut) adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan,” aku Lucas sebelum kembali ke Yogyakarta, tempat ia dan istrinya, Kadar, keluarga besar serta teman-teman keduanya, tinggal. Pernyataan sikap (dan kebaikan hati) senilai 150.000 dollar Australia dari pasangan itu baru terungkap setelah Lucas pensiun di tahun 2010 silam.

“(Agar) orang Indonesia bisa merasa seperti di rumah sendiri, sementara orang Australia bisa bertemu dengan tetangga mereka (orang Indonesia),” Lucas menambahkan. “Bukan hanya simbol yang nyata untuk sekadar berkumpul bersama, hal tersebut juga memiliki dimensi emosional dan suasana yang unik,” lanjutnya.

Pasak Menemukan Lubang 

Lucas mempunyai latar pendidikan yang istimewa. Meskipun tidak memiliki darah biru, ibunya yang asli Yunani memiliki properti dan menyekolahkannya ke Anglican Geelong Grammar, sekolah yang terkenal karena mencetak para elit dan pemimpin-pemimpin masa depan.

“Saya selalu berpikir diri saya sebagai pasak persegi di sebuah lubang bundar,” candanya tentang hari-hari sekolahnya. Dengan tujuan untuk berkarir sebagai seorang ekonom pertanian atau petani yang memiliki tanah luas, Lucas justru memenangkan beasiswa ke East West Center, tahun 1969.

Sebuah organisasi pendidikan dan penelitian di Universitas Hawai. Pusat pendidikan dan pelatihan ini dibuka tahun 1960 untuk memperkuat hubungan dan pemahaman di antara masyarakat dan negara-negara Asia, Pasifik, dan Amerika Serikat.

Karena berasal dari Asia Pasifik, Lucas dibebaskan dari belajar bahasa daerah, hanya harus lulus tes bahasa Inggris. Seperti kebanyakan orang Australia masa itu, ia melihat negaranya lebih sebagai pos terdepan Eropa daripada negara Asia-Pasifik.

Dia meninggalkan jurusan ekonomi pertanian dan banting stir mengambil studi bahasa Indonesia, yang didahului oleh serangkaian peristiwa kebetulan yang mengherankan. Salah satunya saat ia menemukan kamera yang hilang di rumah seorang peneliti, Herb Feith, yang kemudian membimbingnya dan mengarahkan Lucas menekuni sejarah tentang Indonesia.

Pengaruh Tony Reid dari ANU membuat Lucas meneliti revolusi sosial Pekalongan, sebuah perjuangan dan gerakan, yang dicatatnya sebagai tidak pernah digambarkan dengan jelas dan koheren. Umumnya, orang melihat peristiwa tersebut sebagai kebangkitan komunis dan otomatis melabelinya sebagai pemberontakan.

Kisah dari para korban yang selamat dari peristiwa itu membuka mata Lucas ke masa lalu Indonesia yang kompleks sekaligus memperluas empatinya. Pasak persegi (yang dia analogikan sebagai dirinya sendiri) seakan menemukan lubang yang tepat. Atau, Lucas  menyebutnya, “Indonesia dan saya cocok seperti sepasang sarung tangan.”

Namun, banyak peristiwa yang tak menyenangkan ia temukan. Salah satunya di sebuah penjara di Yogyakarta dia melihat banyak hidup aktivis politik hancur oleh sistem yang kejam selama era paranoia anti-komunis.

"Dengan seorang pendeta mahasiswa Belanda, saya mencoba membantu seorang anak untuk berdamai dengan ayahnya yang telah lama dipenjara militer," kisah Lucas. “Kami gagal saat itu. Dan hal ini sangat mempengaruhi saya,” imbuhnya, prihatin.

Di Flinders, sebagai seorang associate professor, Lucas juga dikenal sebagai konsultan. Dia membuat serial dokumenter Riding the Tiger, film produksi ABC yang rilis tahun 1992. Film yang disutradarai Curtis Levy ini mengisahkan tentang wajah manusia era pemerintahan otoriter di Indonesia.

Tak hanya itu, Lucas juga melakukan penelitian yang didanai Australia di berbagai bidang, termasuk reformasi agraria, lingkungan dan modal sosial, serta pemerintahan daerah.

Dia mengajar budaya dan masyarakat Indonesia, agama dan perubahan sosial, serta identitas musik. Selain mendanai pribadi Majalah Inside Indonesia, Lucas juga menjabat sebagai bendahara. Di era Presiden Suharto, dia menambahkan biara Katolik di Jawa Tengah ke daftar langganan Inside Indonesia yang sepertinya ide bagus. Namun tidak demikian pada akhirnya para biarawati kemudian dituduh sebagai penyebar paham Marxisme.

Meski banyak menemukan masalah, hubungan Australia dan Indonesia meningkat seiring berjalannya waktu. Tahun 1992, Perdana Menteri Australia, Paul Keating, yang dekat dengan Suharto, menyatakan Australia sebagai bagian dari Asia. Jumlah pendaftaran mahasiswa di Flinders pun naik signifikan sehingga membutuhkan empat posisi akademis dengan bekerja waktu penuh (pekerjaan-pekerjaan yang ada sekarang dibagi dan terbatas pada dua posisi paruh waktu).

Solusi dari Pendopo

Lima tahun setelah gong gamelan Sekar Laras di pendopo pertama kali ditabuh dan gemanya menggerakkan daun-daun kayu putih di sekitarnya, Lucas dan rekan-rekannya mengadakan konferensi satu hari mengenai hubungan Australia-Indonesia.

Buku yang diedit berikutnya adalah Setengah Abad Interaksi Indonesia-Australia diterbitkan tahun 1996. Orang-orang Australia sangat tertarik pada orang-orang Indonesia nyaris di segala bidang. Antara keduanya saling mempunyai rasa. Selama tahun 1980an dan awal 1990an orang-orang dari masing-masing negara bagian di Australia semakin dekat, dan lebih bijak satu sama lain. Lucas mengingat tahun sembilan puluhan ini sebagai era keemasan hubungan Indonesia-Australia.

Lalu kilau itu meredup. Peristiwa-peristiwa dramatis termasuk krisis keuangan (krismon) Asia tahun 1997, kekacauan setelah jatuhnya Suharto tahun 1998, dan ketegangan tinggi selama referendum kemerdekaan Timor Leste tahun 1999.

Disusul bom Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia, pemerintah memberikan peringatan keras untuk bepergian. Kunjungan-kunjungan pendidikan pun sontak terhenti. Orang-orang tua tidak ingin anak-anak mereka belajar bahasa Indonesia. Administrasi universitas menemukan bahwa komputer dan komunikasi lebih menguntungkan daripada studi bidang Asia.

“Untuk mengubah ini, kita semua perlu berbuat lebih banyak dan itu termasuk orang Indonesia yang belajar di Australia dan orang-orang Indonesia mengadakan seminar tentang Australia,” komentar Lucas. “Jika kita kehilangan satu generasi terpelajar, kita tidak akan mendapatkannya kembali. Niat baik saja tidak cukup kuat,“ putusnya.

Kegagalan untuk menjelaskan tanggapan orang Indonesia terhadap eksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (termasuk menarik pulang duta besar di tahun 2015), dan tanggapan media Australia terhadap pembebasan ratu ganja Schapelle Corby tahun 2017, adalah peluang yang terlewatkan.

Lucas percaya bahwa, “kita perlu menceritakan kisah kita tentang sejarah, multikulturalisme dan nilai-nilai kita, seperti keragaman dan persamaan. Seperti di pendopo, kita seharusnya saling mendengarkan dan merefleksikan hubungan yang kita inginkan.”

"Seperti yang telah kita lakukan di Konferensi Terbuka Dewan Indonesia (ICOC) baru-baru ini yang baru saja berakhir," dia merenung. “Sungguh, mahasiswa-mahasiswa Indonesia sangat menginspirasi,” pungkasnya.

Diterjemahkan oleh Yose Rizal Triarto dengan Duncan Graham dan dipublikasi di Surabaya Tribunnews. You can find the English version here

Inside Indonesia 130: Oct-Dec 2017