Rengat, 1949 (Bagian 2)

Published: Sep 12, 2016

Anne-Lot Hoek

Diterjemahkan oleh Noriko Ishida, Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda

 

Di Den Haag pada suatu pagi hari yang mendung di bulan Mei 2016, raja Belanda Willem-Alexander memberikan penghargaan tertinggi kepada pasukan yang berada di bawah Pasukan Komando (Korps Commandotroepen). Mereka mendapatkannya karena keberanian yang mereka perlihatkan selama misinya di Afghanistan 2005-2010. Beberapa hari kemudian, Willem-Alexander menerima sebuah surat dari seorang wanita Indonesia yang berumur 77 tahun, Nini Turaiza Tulus. Dia menyodorkan kepada sang raja fakta eksekusi atas diri ayahnya di Rengat, sebuah kota di Sumatra, pada tahun 1949 semasa Perang Kemerdekaan Indonesia oleh generasi pendahulu pasukan penerima penghargaan itu. Peristiwa berdarah di Rengat itu begitu di luar sepengetahuan masyarakat umum Belanda.

Presiden Republik Indonesia yang pertama Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Segera setelah itu terpecahlah perang gerilya yang mengerikan terhadap penjajah lama Belanda yang datang kembali di Indonesia. Perang yang berlangsung sampai akhir tahun 1949 itu memakan korban 120,000 jiwa sebelum akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas nusantara.

Masyarakat internasional tidak mengetahui adanya 'Perang Vietnam' dan 'Peristiwa My Lai' bagi Belanda. Puluhan tahun berlalu sebelum kekerasan oleh Belanda di Indonesia mendapatkan perhatian yang serius di karangan akademisi Belanda. Tersedia cukup bahan untuk menulis buku yang membahas dan meninjau kekerasan Belanda tersebut secara integral, tapi kebutuhan tidak terasa, karena sungkan melihat masa lalu kembali. Baru-baru ini sebuah penelitian akademik menyatakan bahwa kekerasan ekstrem Belanda di Indonesia adalah tidak insidental, tapi justru struktural. Toh, di dalam situs internet Departemen Pertahanan Belanda, perbuatan tentara Belanda di Sumatra pada masa itu disebut sebagai 'perbuatan yang mengagumkan'. 

Setiap pemerhati HAM di Belanda memandang semua itu sama sekali tidak 'mengagumkan'. Belanda menaruh kepentingan yang besar terhadap HAM sejak tahun 60an, setelah terkuaknya kecurigaan terhadap masa lalunya, yaitu zaman menjajah dan periode pelepasan jajahan. Akan tetapi kekerasan itu masih belum sepenuhnya tersingkap. Pada tahun 80an ketika sejumlah simpatisan dari Belanda berjuang terhadap apartheid  di Afrika Selatan, Ratu Belanda memberikan penghargaan atas aksinya di Sumatra 1948-1949 kepada pasukan yang bertanggungjawab atas serangan di Rengat. Acara-acara kenegaraan pun diselenggarakan secara Belanda sentris dan sudut pandang orang lain yang bukan orang Belanda kurang dipertimbangkan. Contohnya, upacara peringatan nasional korban Perang Dunia II yang setiap tahun diselenggarakan pada tanggal 4 Mei. Dalam upacara itu, korban orang Belanda dalam Perang Dunia II dan dalam Perang Kemerdekaan Indonesia diperingati bersama. Pada hal, Perang Kemerdekaan Indonesia  sama sekali berbeda sifatnya dari Perang Dunia II. Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi oleh karena Belanda tidak mau memberi Indonesia kemerdekaan. Toh sehari setelah peringatan korban perang, yaitu pada tanggal 5 Mei, orang Belanda rame-rame merayakan kembalinya kemerdekaan bagi dirinya dari Nazi Jerman. Korban-korban yang lain termasuk puluhan ribu orang Indonesia jatuh di luar peringatan nasional Belanda itu.

Membuka kotak Pandora    

 

Mengapa para ahli sejarah tidak mempermasalahkan ketidakseimbangan itu? Mengapa tidak ada orang yang berani membuka kotak Pandora? Media massa sering menyebutnya sebagai 'persekongkolan bungkam' (conspiracy of silence), tapi sebenarnya informasinya terdapat di mana-mana. Dokumen negara dari masa Perang Kemerdekaan Indonesia sudah dibuka untuk umum sejak tahun 80an. Sebagaimana diperlihatkan oleh Paul Bijl dari Universitas Amsterdam di dalam bukunya Emerging memory: Photographs of colonial atrosity in Dutch cultural remembrance, sepanjang abad ke-20 masyarakat Belanda berulang kali 'menemukan'  fakta-fakta kekerasan yang pernah terjadi di jajahannya. Namun, para akademisi lebih suka memilih tema-tema yang aman seperti politik dekolonialisasi, dan menyebut kekerasan di jajahan sebagai tema yang kurang memberikan 'tantangan akademik'.

Sejak tahun 40an, pemerintah Belanda jelas tidak pernah mau meluruskan data. Itu akan terbentur kepentingan dari sangat banyak pihak. Mengatur proses pengadilan pemberian pampasan perang adalah merepotkan, dan sekaligus Belanda akan kehilangan muka di dunia internasional. Dalam negeri, komunitas besar para veteran dan pemudik dari bekas Hindia-Belanda yang mengalami dahsyatnya perang dan akibatnya yang pedih tidak mau adanya tinjauan kembali akan masa lalu itu.

Titik awal perubahan terjadi pada tahun 1969. Seorang veteran Belanda yang bernama Joop Hueting tampil di programa TV nasional dan berbicara tentang kekejaman tentara Belanda di Indonesia. Kami adalah 'pembunuh profesional' yang tidak sungkan menyiksa tawanan, misalnya mengangkut mereka dengan truk bak terbuka di bawah teriknya sinar matahari sampai kulitnya terbakar, dan yang bisa membunuh tanpa ragu-ragu seluruh anggota keluarga warga kampung, tegasnya.  Secara khusus ia tandaskan bahwa pemakaian kekerasan itu tidak insidental, tapi struktural yang sudah tertanam dalam di struktur militer. Ancaman nyawa dari para veteran terhadap diri Hueting dan keluarganya begitu besar dan nyata, sehingga dia harus menyembunyikan diri bersama keluarganya. Lalu, guncangan di masyarakat umum Belanda menghilang. Hueting terheran-heran melihat kerasnya protes masyarakat Belanda terhadap Amerika atas Pembantaian My Lai di Vietnam pada 1968, tetapi masyarakat Belanda yang sama tidak mau mengakui persamaannya ketika setahun kemudian Heuting bercerita tentang 'Pembantaian My Lai' di Indonesia oleh tentara Belanda, dan setelahnya pun begitulah pola kejadiannya selama puluhan tahun. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke dalam air. Itu menimbulkan guncangan emoti beberapa lama, tapi akhirnya tenang kembali. Pemakaian kekerasan tentara Belanda tidak pernah menjadi tema penelitian para ahli sejarah.

Harry Poeze, peneliti KITLV, adalah salah satu di antara akademisi Belanda yang sedikit yang melakukan penelitian tentang kekerasan tentara Belanda di Indonesia. Ia menyinggung kekerasan Belanda di dalam bukunya tentang Tan Malaka yang dia bahas dari sudut pandang Indonesia.

Sebenarnya, pemerintah Belanda memberikan tanggapan terhadap pernyataan Hueting, tapi sifatnya hanya sekedar untuk menenangkan situasi. Pemerintah menyuruh ahli sejarah Cees Fasseur untuk melakukan inventarisasi arsip dalam tiga bulan. Nota Ekses (Exessennota) adalah laporannya. Perdana Menteri menyimpulkan berdasarkan laporan tersebut bahwa kekerasan itu tidak masuk ke dalam kategori kejahatan perang, tapi sifatnya 'insidental'. Selama puluhan tahun yang mendatang kesimpulan itulah yang selalu dikutip.

Toh kadang kala situasi kembali tergejolak. Pada akhir 80an dan awal 90an, ketika Poncke Princen, seorang tentara Belanda yang membelot ke pihak Indonesia, mengajukan permohonan untuk kembali ke Belanda, kemarahan membara di hati para veteran. Kemudian pemakaman Westerling pada tahun 1987. Lalu kunjungan resmi Ratu Beatrix ke Indonesia pada tahun 1995. Kedatangannya sengaja dijatuhkan beberapa hari setelah Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, supaya tidak menimbulkan keributan di dalam negeri Belanda. Terus Graa Boomsma, sastrawan Belanda, yang digugat para veteran karena di dalam bukunya dia membandingkan perbuatan tentara Belanda di Indonesia dengan perbuatan Nazi Jerman. Baru-baru ini, terkadang foto-foto kekerasan tentara Belanda di Indonesia ditemukan di dalam album milik veteran yang meninggal dan kemudian ditampilkan di koran. Foto-foto demikian itu menimbulkan gejolak emosi yang besar, tapi foto tinggal hanya foto oleh karena ditampilkan begitu saja tanpa materi-materi dukungan yang membantu pelacakan lebih lanjut.

Sebagaimana dilihat di atas, beberapa kali pintunya diketok halus, tapi belum ada orang yang mau menendangnya buka. Pintu digebrak terbuka baru pada tahun 2011, ketika seorang aktivis Belanda-Indonesia Jeffry Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld berhasil menggugat negeri Belanda atas pembantaian di kampung Rawagede, Jawa pada tahun 1947. Kemudian mereka juga membuat gugatan lagi atas eksekusi massal di bawah komando Kapten Westerling di Sulawesi Selatan pada tahun 1946 dan atas perkosaan oleh tentara-tentara Belanda terhadap seorang wanita di desa Peniwen, Jawa pada tahun 1949. Akhirnya, pengadilan turun tangan. Setahun kemudian, gabungan tiga lembaga penelitian di Belanda mengajukan permohonan dana pemerintah untuk melakukan penelitian yang menyeluruh atas kekerasan tentara Belanda semasa Perang Kemerdekaan Indonesia. Permohonan itu ditolak. Sementara itu, ahli sejarah Swiss-Belanda Rémy Limpach mengemukakan kesimpulan di dalam disertasinya bahwa kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda terhadap orang Indonesia dapat dilihat di mana-mana dan menjadi bagian dari tentara Belanda. Disertasi yang membahas perbuatan tentara Belanda 1945-1949 itu diterbitkan pada bulan September 2016. Gert Oostindie, direktur KITLV, salah satu dari tiga lembaga yang bergabung, mendukung kesimpulan itu di dalam bukunya yang ia tulis baru-baru ini berdasarkan catatan harian dan surat veteran-veteran Belanda yang pernah diterbitkan. 

Menurut Gert Oostindie, sepertinya mustahil bagi elite ahli sejarah penjajahan di Belanda untuk menghadapi massa dengan tema yang tidak menyenangkan seperti kejahatan perang tentara Belanda, karena kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang pernah tinggal di Hindia-Belanda. "Suasana mengatakan: mengapa harus kita sengaja cari masalah? Itu kan bukan memori yang indah." Sementara itu, generasi muda sejarawan Belanda kelihatannya kekurangan strategi akademik untuk membawakan tema ini ke arena pendiskusian nasional, untuk melibatkan berbagai sudut pandang, dan untuk membahas kekerasan. Kebanyakan dari mereka menyatakan: tidak dibahasnya kekerasan itu tidak sengaja, tapi karena tidak ngetrén ketika itu. Di lain pihak, toh ada beberapa spesialis studi wilayah Asia yang tukar menukar pikirannya dengan akademisi luar negeri, seperti Robert Cribb, ahli sejarah di Australia. Ada juga beberapa ahli antropologi budaya yang mengangkat kekerasan dan sudut pandang orang Indonesia sebagai tema penelitiannya. Hanya sayangnya, apa yang mereka geluti kelihatannya tidak dapat mempengaruhi pandangan masyarakat umum Belanda. Pada tahun 1999, ahli sejarah De Moor masih enak saja menulis bahwa apa yang dilakukan oleh komandan yang memimpin serangan di Rengat adalah teladan 'pendamaian secara militer dan administratif' yang baik, dan bahwa komandan tersebut berhasil 'memperoleh rakyat untuk Belanda'. Sebagaimana dipaparkan di atas, orang-orang Belanda lama buta akan kekerasan tentaranya dan akan kesaksikan kekerasan yang dibuat pihak Indonesia. Di satu sisi ada sejarawan berlatar belakang kehidupan di jajahan yang melihat segalanya dari sudut pandang Belanda, di sisi lain ada specialis studi wilayah Asia dan antropolog budaya yang mementingkan sudut pandang Indonesia. Jurang pemisah di antara dua kubu lebar dan dalam.

Masalah pilihan kata    

 

Opini umum dalam negeri Belanda bertahun-tahun berada di bawah dominasi elite akademisi yang tidak menaruh perhatian pada kekerasan dan pada sudut pandang luar Belanda. Tokoh utama pembentuk opini umum adalah Cees Fasseur. Dia adalah pegawai muda di Departemen Kehakiman ketika menulis Nota Ekses (Exessennota) pada tahun 1969. Beberapa tahun kemudian ia menjadi profesor Universitas Leiden. Sekalipun ada di posisi yang menjaminnya sepenuh kebebasan akademik, dia tidak mengambil kembali tema kekerasan. Tidak menarik, katanya. Akan tetapi apabila media massa membutuhkan keterangan latar belakang sejarah, pasti dialah yang menjadi tempat tanya pertama.

Barangkali dapat kita lihat 'strategi hindar' bermain di sini. Ahli sejarah seperti Fasseur sering mengingatkan kita perlunya 'netralitas', artinya, lihatlah apa yang sesungguhnya terjadi secara objektif, dan jangan jadikannya perkara moral. Memang 'netralitas' inilah yang dicari di dalam arsip-arsip Belanda. Fasseur dan rekan-rekan segenerasinya sering mengatakan bahwa sejarah lisan, rekaman pengalaman nyata seseorang, kurang dapat dipercaya. Ketika Fasseur saya ajak bicara sehabis menonton programa TV yang menampilkan wawancara oleh Max van der Werff, aktivis Belanda, dengan korban kekerasan tentara Belanda di Jawa, dia membantah keras dengan marah-marah. "Orang-orang itu kebingungan. Mereka keliru menceritakan aksi-aksi TNI tahun 1965 sebagai Agresi Militer Belanda tahun 1948!" bentaknya. Dengan kata lain: pernyataan orang-orang itu tidak dapat dipercaya. Fasseur mengulang pendapat itu ketika diwawancarai, sekaligus direkam, oleh sejumlah peneliti KITLV pada tahun 2014. "Bisakah pembantaian seperti itu dibiarkan tanpa disoroti? Tentu saja tidak. Tidak mungkin!" tambahnya. Sudah jelas dia tidak mau menggabungkan sudut pandang Indonesia di dalam 'fakta yang dapat diterima'. Sepertinya, dia yakin bahwa 'fakta yang dapat diterima' hanya ditemukan di dalam arsip-arsip Belanda.

Ternyata, ada alasan-alasan pribadi juga. Di dalam autobiografi Fasseur yang ditulis mendekati meninggalnya, dapat dibaca bahwa sebuah keyakinan moral yang dimilikinya membuatnya kurang berminat untuk melanjutkan penelitian. "Mengapa harus kita tinjau kembali semua peristiwa yang tragedis itu?" tanyanya. Barangkali beginilah alasan Fasseur mengapa dia tidak pernah menyatakan perlunya tinjauan kembali atas angka kematian 80 di Rengat yang dia tulis di dalam Nota Ekses. Menanggapi penelitian oleh Limpach, dia mengatakan pada tahun 2015 bahwa pada tahun 1969 orang tidak mungkin menuduh perbuatan tentara Belanda di Indonesia sebagai kejahatan perang. Tentara Belanda itu baru saja habis berperang melawan Nazi Jerman, kemudian dikirim oleh pemerintah untuk berperang melawan orang-orang Indonesia. Dengan kata lain: tentara itu sudah amat sangat menderita sekali; dalam situasi demikian itu, siapakah yang sampai hati menyalahkan tentara dan keluarganya sebagai penjahat perang? Memang kita semua mengerti perasaan itu, tetapi alasan demikian itu tidak 'netral' dan tidak 'objektif' juga. Bagaimanapun, masalah ini mestinya dapat ditinjau kembali puluhan tahun yang lalu, misalnya dalam tahun 80an atau 90an.

Satu hal yang tidak disebut oleh Fasseur dan yang jelas memainkan peranan di dalam masyarakat Belanda adalah kekerasan oleh pemuda Indonesia terhadap orang-orang Belanda dan keturunan Belanda pada masa awal Revolusi Nasional Indonesia. Lagi-lagi hal ini tidak dapat perhatian besar di Belanda. Orang-orang yang dengan susah payah kembali ke Belanda disambut secara dingin. Mereka menderita amat sangat di kamp konsentrasi Jepang pada masa pendudukan Jepang, kemudian diganggu oleh pemuda Indonesia Merdeka, lalu dihina di Belanda sebagai bekas penjajah. Ketika media massa Belanda sebut-sebut kejahatan perang orang Belanda terhadap orang Indonesia, mereka bereaksi dengan kemarahan yang membakar. Sangat sedihnya, hal ini memecah-belah dan menyulitkan diskusi tentang Perang Kemerdekaan Indonesia di Belanda. Pada hal, pemerintah Belanda juga ikut bertanggungjawab atas perang yang menyebabkan banyak orang meninggal secara tragis itu.

'Strategi hindar' yang satu lagi yang digunakan para akademisi Belanda adalah manipulasi dengan bahasa. Mereka sengaja memilih kata yang lembut dan samar-samar bila harus mendeskripsikan apa yang sebenarnya merupakan kekerasan brutal. Mereka mengatakan 'ekses', bukan 'kekerasan struktural', misalnya. Menyebutnya secara terang-terangan sebagai 'kekerasan struktural' akan mengundang bahaya.  Phillipe Sands, profesor ilmu hukum di Inggris, memperlihatkan di dalam buku barunya East West Street bahwa kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu kekerasan sangat mempengaruhi tanggapan orang terhadap kekerasan tersebut. Contoh konkretnya adalah reaksi keras dari Turki seputar Genosida Armenia. Belanda jadi rame pada tahun 2013 ketika William Frederick, ahli sejarah di Amerika, mengatakan bahwa pembunuhan orang-orang (keturunan) Belanda oleh pemuda Indonesia pada tahun 1945 dapat disebut genosida. Gelombang emosi mengguncang orang-orang yang kembali dari bekas Hindia-Belanda walau kelihatannya peristiwa tersebut tidak seburuk 'genosida'.

Paling tidak sejak tahun 1970 para akademisi sadar akan adanya pelaksanaan kekerasan secara struktural oleh tentara Belanda di Indonesia. Setahun setelah dikeluarkannya Nota Ekses, dua orang sosiolog mantan tentara wajib militer Jacques van Doorn dan Wim Hendrix mendeskripsikan berdasarkan pengalamannya sendiri adanya pelaksanaan kekerasan yang struktural. Anehnya, mereka pun tetap memakai istilah 'ekses', dan penelitian lanjutan pun tidak dilakukan. Loe de Jong, ahli sejarah di Belanda yang terkenal, adalah satu-satunya orang yang mencoba untuk menantang pemakaian istilah 'ekses' pada tahun 1987. Di dalam epilog karya besarnya yang membahas Belanda di dalam Perang Dunia II, dia memakai istilah 'kejahatan perang' untuk mendeskripsikan perbuatan tentara Belanda di Indonesia. Masyarakat Belanda jadi rame ketika salah satu redaktur buku tersebut, seorang veteran, membocorkan kesimpulan itu di koran yang populer di Belanda. Komunitas veteran mendesak penulis sedemikian rupa sehingga ia mengganti instilah itu dengan 'ekses'. Ahli sejarah Stef Scagliola terhitung sebagai salah satu orang yang pertama yang memakai istilah 'kejahatan perang' di dalam disertasinya yang dipertahankan pada tahun 2002. Fasseur, yang mendukung Loe de Jong dalam pemakaian 'kejahatan perang', tidak pernah memakai istilah 'kekerasan struktural' atau 'kejahatan perang' sendiri. Di dalam autobiografinya ia katakan bahwa persoalan istilah adalah 'permainan kata belaka'.

Bendera kuning   

Kebuntuan di Belanda seperti di atas tidak jadi seburuk itu seandainya ada kerjasama yang baik dengan orang Indonesia yang mengatakan kepada para peneliti Belanda, "Lihat! Inilah apa yang terjadi. Ceritalah! Kami ingin mendengarkan ceritamu." Panca dan Naya memang bekerjasama dengan saya di Rengat, tapi kerjasama seperti itu lama tidak pernah terjadi dengan para sejarawan Indonesia yang berspesialisasi sejarah masa Revolusi Nasional. Ternyata, Peristiwa Rengat itu di Indonesia juga tidak dikenal. Di sebuah warung kopi, Naya katakan kepada saya bahwa peristiwa itu bagian dari sejarah lokal, tapi bukan sejarah nasional. Sebagaimana sejarah nasional Belanda disusun dengan peristiwa-peristiwa yang terpilih, sejarah nasional Indonesia pun disusun dengan peristiwa-peristiwa yang dipilih sesuai kriteria yang berlaku sekarang. 

Salah satu hal yang ada di dasar kriteria adalah sifatnya Perang Kemerdekaan Indonesia atau Revolusi Nasional Indonesia yang sedikit banyak menyerupai perang sipil. Tidak semua orang di nusantara mendukung Republik Indonesia. Ketika mobil kami lewat daerah Gadang dekat Rengat, Naya bilang bahwa pada zaman Revolusi warga Gadang pro-Belanda. "Mereka pengkhianat negara," kata Naya. Mereka bekerjasama dengan orang-orang Belanda. Salah satunya adalah sultan setempat. "Ayah saya ditipu Sultan," tambah Ibu Nini. Menjelang serangan di Rengat, bendera yang kuning dipasang di depan rumah milik Sultan dan keluarganya, tukasnya. Maksud bendera tersebut adalah untuk memperlihatkan kepada tentara Belanda bahwa mereka pro-Belanda. "Putra Sultan naik pewasat bersama orang Belanda dan terbang di atas Rengat untuk mengecek tempat untuk memasang bendera kuning." Sebelum serangan, Encik Masfar melihat bendera kuning di depan rumahnya. Ayahnya adalah penasehat Sultan. Laporan kepolisian Belanda memuat cerita yang sesuai: seorang kapten Belanda mengatakan bahwa sebelum serangannya dimulai, dia mengamankan putra Sultan yang ditemukan 'sedang berbelanja di pasar'. Dia suruh salah satu anggota satuan keamanan pribadinya berdiri di depan rumah Sultan. Sultan yang juga diwawancarai oleh polisi setelah serangan mengatakan bahwa dia sendiri tidak tahu dan tidak melihat terjadinya 'sesuatu di luar perikemanusiaan'. Menurut Naya, itu merupakan perkara sensitif sampai sekarang. Baru-baru ini keluarga Sultan 'mencoba untuk mengubah sejarah', yaitu mereka mencoba untuk menjadikan tanggal 5 Januari 1949 Hari Jadi Rengat dan mengusulkan untuk merayakannya dengan pesta besar. "Kami marah sekali!" kata Naya. "Untungnya, bupati mengumumkan bahwa perisitiwa pada hari itu tragedi yang nyata."

Bagi Masfar, dukungan Sultan terhadap orang-orang Belanda bukan hal yang mengherankan: "Itu kan hubungan yang terjaring sejak lama sekali." Ketika masih anak kecil, Masfar melihat Sultan ke mana-mana naik mobil Belanda yang mewah dan besar. Sejarawan setempat Susilowadi menerbitkan buku sejarah Kerajaan Indragiri pada tahun 2006. Dia mendeskripsikan keterlibatan Belanda yang berlangsung lama di daerahnya dari zaman VOC sampai zaman pemerintahan Hindia-Belanda. 'Kolaborasi' seperti itu biasa dilakukan oleh kaum bangsawan lokal semasa Revolusi Nasional Indonesia. Itu merupakan lanjutan persekutuannya dengan orang-orang Belanda yang dimulai di masa penjajahan. Di samping itu ada 'grup kolaborator' yang lain, yaitu orang-orang Ambon dan Menado yang menjadi tentara bayaran pemerintah Hindia-Belanda. Kolonialis Belanda yang dalam kurun waktu yang sangat lama berkuasa di nusantara menuntut ganti rugi yang mahal atas keberangkatannya. Revolusi Nasional Indonesia memuat proses pemecahbelahan bangsa. Itu proses yang rumit, bukan cerita sederhana yang berisi kepahlawanan dan bersatunya bangsa Indonesia saja. Di Belanda juga demikian. Puluhan tahun dibutuhkan sebelum orang dapat menulis tentang banyaknya agen polisi Belanda yang mendukung Nazi Jerman semasa Perang Dunia II dan sebelum orang Belanda yang bersimpati kepada penjajah Jerman dapat menceritakan pengalamannya kepada anaknya. 

Ketika ditanya komentarnya tentang kekerasan selama 1945-1949 beberapa waktu lalu, baik perdana menteri Belanda maupun presiden Indonesia menekankan pentingnya melihat ke depan dan menganjurkan biar masa lalu tinggal di masa lalu saja. Saya berpendapat lain. Saya merasa, peneliti Belanda dan Indonesia sama-sama harus meneruskan penelitian terhadap masa yang dilalui bersama itu. Parlemen Belanda berencana pada paroan kedua tahun 2016 untuk mengundang peneliti spesialis dan mendengarkan ceramahnya tentang kekerasan tentara Belanda di Indonesia. Saya sambut positif Menteri Luar Negeri Belanda yang  mengunjungi kampung Rawagede di bulan Maret 2016 dan menyatakan perlunya penelitian lebih lanjut. Ceramah di parlemen yang direncanakan itu merupakan acara parlementer yang pertama setelah tahun 1969 mengenai masalah ini. Kesimpulan-kesimpulan akademik yang dikeluarkan baru-baru ini pasti akan dibahas di situ. Harapan saya semoga ini dapat membawa masa depan yang lebih baik yang sifatnya membangun bagi kerjasama para peneliti Belanda dan Indonesia. 

 

Anne-Lot Hoek (annelot@annelothoek.com) adalah jurnalis Belanda. Dia belajar sejarah di Universitas Amsterdam dan pada saat ini sedang menulis buku tentang Bali semasa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Versi pendek tulisan ini ditampilkan pada awal tahun 2016 di dalam NRC Handelblad, sebuah harian Belanda. Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca disini. Website: www.annelothoek.nl 

Catatan tentang terjemahan: Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda, memamerkan koleksi besar mengenai Hindia Belanda serta Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Di samping museum terletak Panti Asuhan Kerajaan untuk tentara pensiunan. Pameran museum menceritakan sejarah Hindia Belanda, merenungkan peperangan kolonial dan berbagai perspektif atas sejarah kolonialisme Belanda.

Inside Indonesia 125: Jul-Sep 2016{jcomments on}