Rengat, 1949 (Bagian 1)

Published: Sep 12, 2016

Anne-Lot Hoek

Diterjemahkan oleh Noriko Ishida, Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda

Suara trompet dan gendang mulai terdengar dari jauh ketika saya berjalan menuju ke tempat upacara peringatan di pusat Rengat, sebuah kota kecil di provinsi Sumatra Tengah. Berbagai jenis anggota masyarakat - pejabat dalam pakaian dinas atau militer, pejabat kepolisian, anak sekolah, guru dan veteran - berbaris di depan tugu yang dibangun di sebelah Sungai Indragini yang lebar dan cokelat. Upacara Peringatan Peristiwa Rengat dimulai dengan sambutan-sambutan yang menbicarakan Agresi Militer Belanda. Bupati meletakkan karangan bunga di pelataran tugu. Setelah upacara, semua yang hadir berjalan ke tepi sungai dan menaburkan bunga pada sungai. Saya, seorang Belanda, juga diizinkan ikut menaburkan bunga.

Begitu Perang Dunia II berakhir 71 tahun yang lalu, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Segera setelahnya pecahlah perang gerilya yang mengerikan terhadap penjajah lama, Belanda. Antara tahun 1945 dan 1949, datang 140,000 orang militer Belanda untuk menjaga 'hukum dan ketenteraman'. Jumlah orang yang hampir sama meninggal. Setelah itu, Indonesia terseret ke dalam keadaan perang sipil. Peristiwa Rengat adalah salah satu serangan terhadap orang-orang sipil di Sumatra oleh pasukan khusus Belanda yang dinamakan Korps Speciale Troepen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5 Januari 1949, pada akhir periode Agresi Militer Belanda II. Menurut sumber Indonesia, hampir 2000 orang meninggal, sedangkan dokumen Belanda menyebutkan perkiraan 80. Anehnya, peristiwa berdarah ini belum mendapat tempat di dalam sejarah nasional baik bagi Indonesia maupun Belanda.

Di Belanda, kekerasan semasa Revolusi Nasional Indonesia dibiarkan tidak diteliti selama puluhan tahun. Kalau pun ada penelitian, penelitian itu dilakukan berdasarkan sudut pandang pihak Belanda saja. Pergulatan berat yang berlangsung selama lima tahun penuh itu dikenal oleh masyarakat umum Belanda sebagai ‘aksi polisionil’ (politionele acties), istilah yang samar dan terlalu halus. Sejumlah peristiwa kekerasan diringkas ke dalam dua rangkaian peristiwa yang kecil-kecil saja. Pernyataan resmi dari perdana menteri pada tahun 1969, yang dibuat berdasarkan penelitian arsip selama hanya tiga bulan, mengatakan bahwa kekerasan yang ekstrem yang terjadi selama periode itu hanya bersifat ‘insidental’. Laporan penelitian arsip tersebut yang disusun oleh Cees Fasseur, ahli sejarah Belanda, diberi judul Nota Ekses  (Excessennota). Sebuah daftar peristiwa-peristiwa yang 'instidental' dapat ditemukan di dalamnya. Akan tetapi, baru-baru ini hasil penelitian yang lain diumumkan di Belanda, yang menyimpulkan bahwa kekerasan ekstrem tentara Belanda adalah justru 'struktural'.*   

Apa yang terjadi di Rengat sebenarnya? Kemudian, mengapa kejadian itu jadi begitu tak terkendali?  

Cocor merah

Panca Setyawan Prihatin adalah dosen di universitas setempat. Almarhum ayahnya, Wasmad Rads, adalah seorang veteran. Saya dijemput Panca di lapangan udara Pekanbaru, kota minyak di Sumatra Tengah. Ayahnya saksi mata serangan Belanda yang dinamakan 'Operasi Lumpur' (Operatie Modder) itu. Operasi itu bertujuan untuk menguasai kembali pertambangan minyak yang terletak persis di sebelah utara Rengat dan di Air Molek, kota dekatnya. Autobiografi Rads menceritakan bagaimana kejadian itu dimulai pada pagi hari tanggal 5 Januari 1949. Ketika ia sedang berlajan di dalam kota, mendadak terdengarnya   swara pesawat terbang di langit. Pesawat terbang yang ia namakan 'cocor merah' itu pesawat tempur-pengebom P-51 Mustang. Pesawat itu menjatuhkan bom pada jalan raya, pada pasar yang rame, bahkan pada pemukiman warga kota. "Mereka juga menembak orang-orang yang ada di bawah." Rads dan temannya Himron Saheman, sama-sama anggota TNI, menyembunyikan diri ke dalam gua di tepi sungai. Ketika saya mewawancarai Himron yang sudah berusia 90 tahun, dia mengatakan bahwa dia ingin menembak balas pesawat-pesawat itu. "Tapi saya dilarang Rads. Itu tidak berguna, malah kita akan dibunuh, lebih baik bersembunyi saja, bigitu kata Rads." Panca mengantar saya ke gua 'jendela sungai' yang menyelamatkan jiwa mereka.

Soldiers of the 1st Parachutists Company of the Corps Special Troops get ready for departure early in the morning at airfield Tjililitan (Jakarta) in a Dakota that will drop them above Jambi (Operation Magpie). Credit: Nederlands Instituut voor Militaire Historie (Netherlands Institute for Military History)
Soldiers of the 1st Parachutists Company of the Corps Special Troops get ready for departure early in the morning at airfield Tjililitan (Jakarta) in a Dakota that will drop them above Jambi (Operation Magpie) - Credit: Nederlands Instituut voor Militaire Historie (Netherlands Institute for Military History)

 

Sekitar jam 11 pagi, setelah pesawat Mustang menghilang, 180 orang penerjun payung udara diterjunkan di daerah Sekip dekat Rengat. Kepala pasukan payung udara adalah, menurut sumber Belanda, Letnan Rudy de Mey. Ahli sejarah militer Jaap de Moor menulis di dalam bukunya tentang pasukan khusus Belanda yang berjudul Perang Westerling (Westerlings Oorlog, 1999) bahwa De Mey dihadapkan 'perlawanan yang dahsyat' dari tentara Indonesia yang mencoba untuk melarikan diri dari Rengat. Para penerjun payung udara Belanda membalasnya dengan tembakan senjata api. Menurut De Moor, itulah yang menyebabkan kematian 80 orang, militer dan sipil. Jumlah itu persis sama dengan jumlah di dalam Nota Ekses. Dia tidak memberikan jumlah orang yang tewas di pihak Belanda.   

Hampir tidak ada bukti lagi ditemukan di Sekip yang menjadi saksi bisu peristiwa tersebut. Seorang warga mengingat adanya lubang peluru di tembok sebuah rumah, tapi rumah itu baru-baru ini direnovasi. Setelah serangan penerjun payung udara itu, nama daerah diubah menjadi 'Sekip Sipayung'. Kami pergi ke Pasanggrahan, gedung peristirahatan milik pemerintah yang berdiri di 'Kwartir Eropa' di pusat kota, tempat para pegawai pemerintah Hindia-Belanda dulu bekerja. Itu merupakan salah satu gedung kuno peninggalan zaman Belanda yang kini tinggal sedikit di Rengat. Lantainya dari tegel Belanda. Atapnya juga khas Belanda. Rads menulis di dalam bukunya bahwa di situ semua pegawai pemerintah, bersama 27 orang agen polisi, seorang penjaga dan empat penjaga penjara disuruh berbaris di halaman, ditembak mati, dan dibuang ke dalam sungai. 

'Seperti Hollander' 

Di antara orang-orang yang dibunuh, ada bupati yang bernama Tulus. Pada Upacara Peringatan Peristiwa Rengat, saya duduk berjejeran dengan dua orang anak perempuan Tulus, Nini Turaiza dan Tuhilwi Tulus, dan cucu Tulus, Naya. Anak laki-laki sulung Tulus adalah penyair ternama Chairil Anwar, yang ketika itu tinggal di Jakarta. "Dia itu seperti Hollander; tinggi, besar, dan necis," kata Nini tentang ayahnya, sambil menunjuk ke atas dengan tongkatnya. "Dia fasih dalam bahasa Belanda, dan menghormati Ratu Wilhelmina." Karena dia dulunya pegawai pemerintah Hindia-Belanda, dia tidak melarikan diri.

Kami berjalan ke bekas rumah Nini dan Tuhilwi yang berdiri di dekat sungai. Pada tanggal 5 Januari 1949 ibu mereka menyembunyikan mereka berdua dan anak perempuan dua yang lain di dalam rumah. Tentara Belanda menembak mati ayah mereka di depan rumahnya, dekat di sungai, bersama asistennya yang bernama Simatupang dan dua orang pegawai yang lain. Menurut saksi mata, tentara Belanda sungkan untuk membunuh Tulus yang tetap tenang dan tabah. "Makanya mereka menembaknya dari belakang," kata Nini. Setelah itu tentara Belanda datang kembali ke rumah, tempat keluarga Simatupang juga ikut bersembunyi. Mereka harus berdiri berbaris. Ibunya Nini membentak, "Mau membunuh anak-anak ini juga?" Sehari kemudian datang lagi tentara Belanda dan Ambon, dan menyuruh perempuan yang ada di rumah untuk datang bersama mereka ke markas tentara. "Bunuh saya dulu kalau mau membawa saya ke sana," jawab ibunya. Begitu serdadu-serdadu itu pergi, ibunya lari bersama anak-anaknya ke rumah familinya yang tinggal di tempat lain di kota. Nini masih ingat di tengah berlari sepanjang sebuah gang melihat kurang lebih dua puluh badan manusia begitu saja bergeletak di atas tanah. Mereka tidak bisa melakukan pemakaman yang sepantasnya untuk ayah yang dibunuh karena badannya bersama dengan badan-badan yang lain dibuang ke dalam sungai. "Setelah itu kehidupan menjadi sulit bagi ibu saya. Dia harus membesarkan lima orang anak seorang diri." Sampai dengan kedatangan saya, Nini sangat marah terhadap orang-orang Belanda, katanya. Dia tidak mau memakai basaha Belanda yang dipelajarinya pada sama muda. "Ik wil niet Nederlands spreken - Saya tidak mau berbahasa Belanda," kata Nini sering kepada saya. Akan tetapi setelah kami mulai berbicara tentang masa perang dan pentingnya saling berbagi sejarah, dia mulai mengucapkan selamat tidur dan selamat pagi dalam bahasa Belanda kepada saya. 

Melalui organisasi veteran setempat, kami dapat bertemu dengan keluarga korban yang lain, Ibu Roslia. Dia tinggal di sebuah rumah kampung yang sederhana. Ayam dan anak-anak berkeliaran di sekitarnya. Keluarganya mengatakan bahwa Ibu Roslia itu berumur sekitar 78 tahun. Meski masih sangat kecil pada tanggal 5 Januari 1949, dia ingat mendengar jatuhnya bom pada pagi hari itu. Ayahnya, seorang petani, membawa keluarganya ke seberang sungai memakai perahu kecil karena sana lebih aman. Ketika menyeberang, mereka melihat dua orang anggota TNI di dalam air melambai-lambaikan tangan dan minta tolong. Ayahnya kembali ke sungai dan mengangkat dua orang tentara itu ke dalam perahunya, tapi dia ditembak tentara Belanda. Keluarganya bersembunyi di dalam hutan selama tiga hari, menyambung hidupnya dengan apa yang terdapat di hutan dan makanan pemberian dari sanaknya. "Hampir semua warga kampung melarikan diri ke dalam hutan," kata Ibu Roslia. Di kemudian hari mereka mencoba untuk mencari badan ayahnya, tapi tidak dapat. Saudara Ibu Roslia mengatakan bahwa ia melihat banyak mayat terapung di sungai. Mayat-mayat itu "telungkup semua. Orang-orang yang mencari kenalannya yang hilang, mencoba untuk membalik-balikkannya." Lima orang omnya Ibu Roslia meninggal di pasar pada hari itu. Rambutan dan manggis dihidangkan kepada kami. Kami makan hidangan itu tanpa berkata apa-apa, dan terus mendengarkan ceritanya yang diiringi hujan yang deras.   

"Tidak baik!"

Apa pemerintah Belanda, yang setelah perang mendaftarkan peristiwa di Rengat itu sebagai salah satu 'insiden', tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Sebelum saya pergi ke Sumatra, saya cari materinya di Arsip Nasional di Den Haag. Saya menemukan dokumen yang mengatakan bahwa mereka memang tahu, tapi mereka memutuskan untuk memandang peristiwa itu dengan cara yang lain. Nota Ekses mengatakan bahwa pemerintah Belanda menyuruh untuk melakukan penyelidikan intern atas serangan di Rengat, bukannya hanya sebuah tapi dua buah penyelidikan. 

Penyelidikan yang satu adalah penyelidikan sipil yang dilakukan sebagai tanggapan terhadap keluhan pegawai pemerintah Belanda setempat. Residen, kepala daerah tertinggi setempat pada tahun 1949, menggambarkan perbuatan tentara Belanda itu 'lebih dari kriminalitas' di dalam sebuah surat kepada atasannya di Jakarta: 400 orang yang sedang bekerja di kantor 'ditembak dari belakang'. Akan tetapi, jaksa Belanda yang bertanggungjawab di daerah Riau menyelesaikan perkara itu dalam laporannya sebagai situasi yang lepas dari pengendalian belaka. Di sebelah kata-kata keluhan residen tersebut di atas, terdapat coretan pencilan: 'omong kosongnya pengomel'. Jaksa itu megeluh bahwa dirinya menderita 'infeksi telinga' dan 'tidak berdaya' sedemikian rupa sehingga tidak dapat pergi ke Rengat untuk menyelidikinya sendiri. Berdasarkan informasi dari seorang pegawai pemerintah setempat, dia menunjukkan jumlah orang yang tewas 120: 84 orang 'tak bersenjata' dan 36 orang 'bersenjata'. Di dalam daftar nama 120 orang yang terlampir, terdapat nama Bupati Tulus. Tiga puluh enam orang 'bersenjata' adalah 27 orang agen polisi dan 5 orang penjaga yang Rads catat di dalam bukunya, dan 4 orang anggota TNI. Jaksa menyatakan sebagai kesimpulan bahwa 'kurang lebih 80 orang' tewas dalam situasi yang 'terjerumus ke malapetaka', tapi jumlah itu 'luar biasa diperbesar' oleh para narasumber yang berat sebelah. Jumlah yang dikemukakan sebagai kesimpulan oleh jaksa inilah yang akan dipakai ulang di dalam pernyataan resmi pemerintah Belanda sejak itu.

Tentara juga melakukan penyelidikan. Jendral Simon Spoor, komandan tertinggi tentara Belanda di Indonesia, menyuruh penyelidikan karena dia kurang enak dengan apa yang dia kebetulan dengar. Paling tidak 22 orang warga Sekip memberikan pernyataan saksi mata, ditambah pula surat korespondensi antara perwira Belanda. Ceritanya mengerikan. Seorang perempuan menyatakan bahwa suaminya dibunuh dan anak putrinya yang berumur 24 tahun diperkosa. Seorang laki-laki mengatakan bahwa anak putrinya yang berumur 16 tahun yang sedang hamil ditembak mati ketika rumahnya dijarah. Masih ada cerita bahwa orang-orang diburu sampai ke tepi sungai dan ditembak dengan senapan mesin, perempuan ditembak bersama bayinya yang digendong, seorang ayah dibunuh bersama tiga orang putranya, dan sebagainya dan sebagainya. Setelah pembunuhan, warganya disuruh untuk melemparkan mayat-mayatnya ke dalam sungai. Kelihatannya, kebanyakan penembakan itu dilakukan secara acak. Seorang kepala desa mengatakan bahwa pelurunya menembus keluar dari rumah bambu. Sedangkan, para tentara mengatakan bahwa mereka sengaja mencari 'orang yang bersenjata' seperti agen polisi. Ironisnya, kebanyakan orang bersenjata yang dibunuh itu bekerja lama, kadang puluhan tahun, untuk orang-orang Belanda sebelum Perang Kemerdekaan. 

Penyelidikan militer ini berhasil mengambil kesaksian kekerasan dari pihak Belanda juga. Seorang Ambon perwira intel tentara Belanda menceritakan bahwa sekitar seratus orang yang bersembunyi di dalam gua di tepi sungai di bawah dermaga, termasuk perempuan dan anak, ditembak oleh tentara Belanda. "Saya melihat mayat-mayatnya terhanyut." Seorang perwira Belanda yang dikirim untuk menginspeksi 'Kwartir Eropa' menyatakan bahwa ia melihat bekas, bahkan genangan, darah. Berdasarkan mayat-mayat yang dilihatnya hanyut di sungai, termasuk 'mayat perempuan yang membopong anaknya', dia menulis bahwa sepertinya pembantaian terjadi, tapi dia mengira bahwa pembantaian itu oleh TNI.

Akan tetapi tidak ada kelanjutan untuk penyelidikan militer itu. Di dalam Nota Ekses, adanya pernyataan saksi mata pun tidak disebutkan.

Entah kebetulan atau apa, sebuah berita di media umum jadi menarik perhatian perdana menteri. Berita tersebut dimuatkan di dalam sebuah koran di Singapura yang diterbitkan segera setelah terjadinya peristiwa. Menteri Luar Negeri Belanda memperlihatkan itu kepada PM Drees. Menteri Teritori Luar Negeri juga membacanya dan mengirim nota: "Telah dibaca. Tidak baik!" Apakah mereka mengambil langkah selanjutnya atau tidak, kita tidak tahu. Diberitakan bahwa lebih dari seribu orang dibunuh di Rengat. Orang-orang Belanda membiarkan 'orang Indonesia membunuh orang Indonesia,' maksudnya, orang-orang Ambon di dalam tentara Belanda. Nota Ekses membisu terhadap berita di koran Singapura itu.

Pendek kata, pemerintah Belanda dari masa ke masa belum pernah menanggapi perkara ini dengan serius. 

Lebih dari seribu

Kembali ke Rengat. Tugu itu monumen yang putih. Di atas papan logam, tersurat 186 buah nama 'korban peristiwa'. Sebelum nama-nama itu ada tulisan: 'kurang lebih 1,500 orang' meninggal. Semua orang yang menulis buku tentang peristiwa ini, Wasmad Rads, Himron Saheman, dan ahli sejarah setempat Susilowadi, menegaskan di dalam bukunya bahwa ribuan orang meninggal. Angka ini bersilisih besar dengan angka di dalam arsip-arsip Belanda. Arsip Belanda juga mencoba untuk memberikan beberapa keterangan tentang mengapa terjadi perselisihan sebesar itu. Asisten residen, seorang Belanda, menulis di dalam suratnya kepada pemerintah Belanda bahwa orang-orang sungkan memberikan saksi mata karena takut pada balas dendam dari tentara Belanda yang pada waktu itu masih ada di situ. Seorang pegawai sipil Belanda menyatakan bahwa kebanyakan orang yang dibunuh di Rengat merupakan pengunjung dari luar yang tidak didaftar sebagai penduduk Rengat.

Sekip menjadi fokus penyelidikan, tapi kelihatannya Sekip bukan satu-satunya tempat yang terlibat. Di kampung Simpanglima kami mewawancarai Ibu Rubina, 77 tahun,   anak putri korban peristiwa. Ibu Rubina yang masih kecil mendengar bersama orang tuanya bom berjatuhan di kota. Dia masih bisa menirukan suara pasukan payung yang anjlok dan membuka payung (balon, kata Ibu Rubina) di udara. Pasukan itu mulai menembak dengan senapan mesin, dan orang-orang kampung berlari-lari mencari persembunyian. Serdadu-serdadu mendatangi rumahnya dan menembak ayahnya, seorang petani. "Kami temukan sebuah lobang kecil dari peluru di atas dadanya, tapi seluruh punggungnya compang-camping seperti meledak," kata Ibu Rubina. Sepertinya, ini mengindikasikan dipakainya 'dumdum' yang dilarang. Serdadu-serdadu itu bukan orang Ambon, tapi orang Belanda putih, tandasnya. "Salah satunya gemuk dan tinggi." Hampir semua tetangganya dibunuh, kata Ibu Rubina. Mayatnya tergeletak di mana-mana, termasuk mayat anak-anak kecil.

Setelah suasana mereda, Ibu Rubina keluar dan melihat mayat-mayat yang banyak di pasar, di jalan, dan di depan kantor pos. Suster yang mati berjatuhan di depan rumah sakit. Di dalam laporan polisi yang terdapat di dalam dosir penyelidikan militer, diceritakan bahwa Yatinah, seorang suster yang berumur 15 tahun, dibunuh karena dia menolak berhubungan dengan serdadu-serdadu itu. Namanya terdapat juga di dalam daftar nama korban di arsip Belanda dan juga di atas papan logam di tugu. Mayat-mayat yang terapung di sungai itu begitu banyak dan desak-desakan satu sama yang lain, sehingga 'itu membentuk sebuah lapangan,' cerita Ibu Rubina. Ia memperkirakan jumlahnya 'lebih dari seribu'. Orang-orang sekitar sungai lama tidak bisa makan ikan dari sungai. Keluarga Ibu Rubina pernah membeli ikan dan dari perutnya keluar jari manusia. Cerita Ibu Rubina ini kembali ditegaskan oleh Encik Masfar, 89 tahun, yang kami wawancarai kemudian. Dia melihat mayat-mayat yang berjumlah 'sekitar 1,600' terapung di sungai. Itu memanjang dari pusat kota sampai sejauh jangkauan mata. Dia pusing dan muak dengan baunya. "Ada mayat yang tersangkut pada pohon yang terapung." Beberapa mayat memakai seragam militer, tapi kebanyakan telanjang, tambahnya.

Setelah kembali di Belanda, saya mencocokkan bersama Bart Luttikhuis, ahli sejarah di KITLV, daftar nama korban 186 orang di tugu dengan daftar nama korban 120 orang dalam laporan penyelidikan sipil Belanda. Ternyata, nama yang cocok di kedua daftar itu hanya 36 buah. Bila kedua daftar itu dianggap benar, jumlah korban menjadi 270 orang. Akan tetapi, begitu kecilnya jumlah nama yang cocok di dua daftar mengisyaratkan bahwa kedua-duanya tidak lengkap. Jumlah korban yang sebenarnya sudah tidak dapat dilacak. Apa yang jelas adalah bahwa jumlah itu besar dan bahwa jauh lebih dari 80 orang kehilangan nyawa. 

Tidak terkendali?   

Mengapa peristiwa itu berjalan begitu tak terkendali? Apa memang benar peristiwa itu  berjalan liar sampai tak terkendali seperti disimpulkan oleh si jaksa itu, atau, perbuatan korps pasukan khusus dan pasukan payungnya di Rengat itu sudah sesuai norma kerja dan instruksi? Kelihatannya, tidak ada kepemimpinan yang baik pada serangan di Rengat. Residen mengeluh dalam laporannya tentang tidak baiknya koordinasi dan kurang bermutunya personel militer. Dua orang sosiolog Belanda, Hendrix dan Van Doorn sudah menyatakan di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1970 bahwa kekerasan massal selama Perang Kemerdekaan Indonesia oleh pasukan-pasukan tersebut merupakan hal 'struktural', bukan 'insidental'. Ahli sejarah De Moor menggarisbawahi bahwa membunuh adalah tugas mereka: mereka adalah satuan pelawan gerilyawan. De Moor menyimpulkan bahwa 'eksekusi dan pembantaian tawanan perang sering terjadi' selama operasi militer pasukan khusus itu; itu merupakan 'prosedur standar' mereka. Dokumen-dokumen yang saya baca membenarkannya dan juga memperlihatkan bahwa Rengat bukan perkecualian selama 'aksi polisionil' di Sumatra. Tidak jauh sebelum serangan di Rengat, pasukan payung yang sama melakukan kekerasan yang ekstrem di Jambi, kota berdekatan. Di dalam laporan penyelidikan militer tersebut di atas, terdapat pula pernyataan oleh seorang fotografer perang Belanda bahwa meski pasukannya dapat mendarat di Jambi tanpa perlawanan apa-apa, toh mereka menembak gila-gilaan. Bahkan mereka melakukan 'penjarahan dan perusakan' juga. Pekerja-pekerja di rumah sakit disuruh berdiri menghadapi dinding, kemudian 'seorang tentara Eropa yang memegang karabin besar' menembak tiga orang pemuda yang memakai tanda palang merah. "Mereka yang jatuh tergeletak tapi masih bergerak di atas tanah ditembak lagi kepalanya oleh tentara yang lain dengan pistol."

Keterangan yang lain adalah bahwa para personel pasukan payung itu sudah sangat letih dan kemungkinan minum pil sebelum mendarat di Rengat. Setelah peristiwa di Rengat, komandan pasukan Kapten W.D.H. Eekhout menulis kepada atasannya bahwa 'tiga orang tentara jatuh pingsan' sebelum 'menaiki pesawat untuk terjun.' Mereka benar-benar terlampau letih setelah tiga kali terjun dalam tiga minggu: Yogyakarta, Jambi, dan Rengat. Oleh karena itu, Eekhout memberikan Benzedrine kepada anak buahnya. Pil ini banyak dipakai selama Perang Dunia II dan kemudian selama Perang Vietnam. Pil yang bekerja seperti pil Speed ini dimaksud untuk 'menghilangkan keletihan.' Celakanya, pasukan payung itu sebelumnya secara kebetulan didaratkan di sawah di luar Sekip yang sedang kebanjiran. Mereka hampir tercekik dalam lumpur. 'Operasi ini benar-benar pantas dinamakan Operasi Lumpur,' tulis Eekhout.

Barangkali budaya pasukan khusus pun ikut memainkan peranan. Letnan Rudy de Mey yang berdinas memimpin serangan di Rengat adalah teman dekatnya Kapten Raymond Westerling, mantan komandan pasukan khusus yang terkenal kejinya dan bertanggungjawab atas terbunuhnya ribuan orang Indonesia di Sulawesi Selatan. Ahli sejarah Swiss-Belanda Rémy Limpach menulis di dalam artikelnya yang berjudul 'Bekerja seperti biasa' (Business as usual) bahwa para pejabat tinggi militer Belanda menilai pembunuhan di Sulawesi Selatan itu prestasi yang gemilang dan teladan yang pantas ditiru. Di dalam memoarnya yang berterang-terangan diterbitkan di Belanda pada tahun 1952, Westerling menggambarkan dirinya sebagai 'ratu adil',  'Robin Hood' di Timur, pembela rakyat kecil, pencipta ketenteraman dan perdamaian. Dia menggambarkan misi militernya seolah-olah sama dengan misi suci yang diserukan di dalam Kitab Injil. 'DNA' yang diturunkannya kepada rekan-rekannya seperti De Mey dibentuk atas sebuah keyakinan: orang Indonesia harus dibebaskan dari orang Indonesia yang lain melalui kekerasan massal. Dia adalah Yakub yang memisahkan domba hitam dari domba putih. Kepercayaan Westerling pada De Mey begitu besar sehingga sejak September 1947 De Mey diserahi kepemimpinan atas aksi istimewa seperti yang di Rengat. Bila membaca buku oleh De Moor, terjumpai sana-sini kebingungan moral pemerintah Belanda terhadap 'pembersihan' yang dilakukan De Mey. Pada mulanya, memisahkan domba dari domba rasanya seperti tugas yang mustahil, tapi akhirnya datanglah Sang Penebus,  Westerling sendiri, yang berbuat jasa begitu besar dan banyak sehingga memperoleh sejumlah halaman yang diperuntukkan baginya di dalam buku sejarah. Seolah sebagai seorang martir, dia menyatakan dengan bangga kesanggupannya akan menjadi kambing hitam untuk apa saja yang berjalan salah di Indonesia. 

Sebelum terbang kembali ke Belanda dari Pekanbaru, saya pergi bersama Panca ke makam ayahnya, Wasmad Rads, yang meninggal pada tahun 2014. Setelah serangan di Rengat, dia ditangkap dan disiksa tentara Belanda selama setangah tahun. "Datangnya orang Belanda terlambat," kata Pancan kepada saya, mengenai kunjungan saya ke Rengat. Ayahnya tidak sakit hati, tapi, lanjut Panca, dia pasti ingin meninjau kembali apa yang terjadi itu bersama orang-orang Belanda, tidak untuk melampiaskan kemarahannya, tapi hanya untuk mengatakan, "Itulah yang benar-benar terjadi di atas diri saya." Mengapa itu tidak terjadi ketika dia masih hidup? Mengapa baik Belanda maupun Indonesia tidak menulis peristiwa di Rengat itu di dalam buku sejarah nasionalnya masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas di bagian berikutnya.

 

*Swiss-Dutch historian Rémy Limpach’s dissertation at the University of Bern concluded in September 2015 that Dutch military behaviour was structural. Dutch KITLV director Gert Oostindie confirmed this statement with KITLV research in his 2015 book Soldaat in Indonesia 1945-1950 (Soldier in Indonesia 1945-1950). In 2014 Colonial Counterinsurgency and Mass Violence was published, edited by Bart Luttikhuis and Dirk Moses with contributions of Dutch historians such as Remco Raben, Peter Romijn and Stef Scagliola. 

Anne-Lot Hoek (annelot@annelothoek.com) adalah jurnalis Belanda. Dia belajar sejarah di Universitas Amsterdam dan pada saat ini sedang menulis buku tentang Bali semasa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Versi pendek tulisan ini ditampilkan pada awal tahun 2016 di dalam NRC Handelblad, sebuah harian Belanda. Bagian kedua tulisan ini dapat dibaca di disini. Website: www.annelothoek.nl.

Catatan tentang terjemahan: Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda, memamerkan koleksi besar mengenai Hindia Belanda serta Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Di samping museum terletak Panti Asuhan Kerajaan untuk tentara pensiunan. Pameran museum menceritakan sejarah Hindia Belanda, merenungkan peperangan kolonial dan berbagai perspektif atas sejarah kolonialisme Belanda.

 

Inside Indonesia 125: Jul-Sep 2016{jcomments on}