Maukah saya menjadi petani?

Published: Sep 13, 2015

AKATIGA dan Ben White

Diterjemahkan oleh Desti Maharani dan Martin Hoggart

Afar (29) adalah anak seorang buruh tani yang tinggal di Wajo, Sulawesi Selatan. Dia bekerja sebagai pedagang kain di daerah pertambangan Bombana, sebelah timur laut Pulau Sulawesi, yang dapat ditempuh dalam beberapa jam dengan menggunakan kapal feri dari kampung asalnya. Baginya, tak ada keinginan untuk mengikuti jejak orang tuanya sebagai buruh tani. 'Lebih baik menjadi pedagang daripada menjadi petani yang tidak memiliki tanah. Jika kita menyewa tanah dari orang lain, kita harus bekerja sejak pagi. Malu jika pemilik tanah melihat kita baru berangkat ke sawah di siang hari. Tapi kalau punya tanah sendiri dan kadang-kadang merasa malas, kita bisa berangkat ke sawah kapan pun sesuka kita'. Selain itu, Afar juga menilai bahwa bertani adalah pekerjaan yang memiliki risiko tinggi, terutama jika terjadi kegagalan panen dan fluktuasi harga yang tidak menentu.

Pertanian, dan pertanian skala kecil khususnya, sampai sekarang masih menjadi mata pencaharian utama bagi kaum muda di pedesaan. Namun begitu, masyarakat di seluruh Indonesia – dan juga di sebagian besar negara lain, baik negara maju maupun berkembang – mengatakan bahwa 'kaum muda tidak lagi tertarik pada pertanian'. Para petani sendiri berharap bahwa anaknya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi petani. Apakah ini berarti bahwa tidak akan ada lagi generasi penerus petani yang akan menyediakan beras dan bahan pangan lain untuk penduduk Indonesia yang jumlahnya kian meningkat?

Beralih dari pertanian?

Kami, para peneliti di lembaga swadaya masyarakat Akatiga, Bandung, telah mempelajari masalah ini sejak tahun 2013 di 12 desa penghasil beras di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Kami berbicara dengan laki-laki dan perempuan berusia 13 hingga 30 tahun dari berbagai latar belakang. Beberapa merupakan anak tuan tanah maupun pemilik lahan kecil, dan yang lainnya adalah anak dari petani penyewa atau buruh tani. Dari sudut pandang mereka, kami sadar bahwa keadaan ini merupakan kondisi yang cukup rumit, seperti yang tergambar dalam cerita beberapa pemuda-pemudi Sulawesi Selatan di bawah ini.

Ami (17) adalah seorang siswi SMA yang ayahnya mengolah lahan pertanian yang cukup besar, seluas tiga hektar, tetapi hanya memiliki sepertiga dari tanah tersebut. Sekalipun, ia belum pernah membantu ayahnya bekerja di sawah. Ami berharap untuk dapat bersekolah di salah satu perguruan tinggi di kota Makassar, jauh dari desanya, untuk belajar akuntansi atau ekonomi dan kemudian mendapatkan pekerjaan di sebuah bank. Akan tetapi, ibunya lebih suka jika Ami melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Sengkang, sebuah kota kecil yang dekat dengan tempat tinggalnya. Ami mengerti bahwa setelah ia menikah kelak, ia akan kembali tinggal di desa, supaya ibunya dapat membantu menjaga anak-anaknya. Kekasih barunya bercita-cita untuk menjadi seorang polisi. Namun, jika kekasihnya gagal mencapai cita-citanya dan akhirnya menjadi petani, Ami pun bisa menerima. 'Asal saya masih bisa melakukan pekerjaan pilihan dan dia bisa mencari nafkah dengan bertani sehingga kami tidak perlu meminjam uang, tidak jadi masalah'.

Orang tua Ladi juga mengolah lahan pertanian. Namun, hanya sebagian kecil dari lahan tersebut yang mereka miliki sendiri. Ladi adalah seorang mahasiswa di sebuah sekolah tinggi keguruan tetapi ia seringkali bekerja membantu ayahnya di sawah. Ayahnya tidak memberi Ladi upah, tetapi beliau membayar biaya kuliah sang anak. Menurut Ladi, bertani adalah pekerjaan yang melelahkan dan merangsang dahaga. Terkadang, ia juga tetap harus bekerja di kala hujan tiba. 'Tetapi saya tidak malu. Lebih baik saya bekerja keras di sawah daripada hanya menganggur di rumah'. Kelak ketika sudah menjadi guru, Ladi berkata ia akan tetap bekerja di sawah. Teman-temannya yang sudah pindah dari desa mengatakan bahwa mereka memang bisa menghasilkan uang yang lebih banyak dibanding ketika mereka bekerja sebagai petani. Namun, sebagian besar dari penghasilan tersebut habis untuk biaya akomodasi, makanan, dan kebutuhan lainnya. Mereka juga sering mengatakan kepada Ladi bahwa mereka merindukan kampung halaman.

Rian adalah anak seorang kepala desa yang memiliki lahan pertanian seluas dua puluh hektar. Sebagai mahasiswa tingkat akhir di Universitas Negeri Makassar, ia berharap untuk dapat berkarir sebagai guru olahraga. Menurut Rian, penduduk desa yang sukses adalah mereka yang memiliki tanah tapi tidak mengolahnya sendiri. 'Sulit bagi seorang petani yang tidak memiliki lahan untuk menjadi sukses'. Padahal, sebagian besar petani setempat tidak memiliki tanah sendiri dan pemilik tanah bukanlah penduduk lokal. Sebagian pemuda yang orang tuanya memiliki lahan berharap untuk mendapatkan sebagian porsi dari lahan tersebut ketika mereka menikah atau sesudah orang tua mereka meninggal. Namun, tak sedikit pula pemuda yang merantau ke Pulau Sumatra untuk bekerja sebagai sopir di kilang minyak Tembilahan, dimana mereka bisa mendapatkan upah lebih besar daripada upah sebagai petani. Kelak, jika Rian telah mengambil alih lahan milik ayahnya, ia akan mencari buruh tani untuk mengolah lahan tersebut dan membiarkan uang mengalir dengan sendirinya. 'Saya akan bisa menghasilkan uang tanpa harus pergi ke sawah'.

 

Mesin penuai padi mengancam peluang kerja kaum muda dan rakyat miskin di pedesaan / Tyastana Kusumastanto

Hara (17) berasal dari keluarga yang tidak memiliki lahan, ia sangat menyadari adanya perbedaan prospek antara petani yang memiliki tanah dan yang tidak memiliki tanah. Ketika kami bertanya, 'Menurut Anda, apakah bidang pertanian bisa memberikan harapan bagi generasi muda?' Ia menjawab, 'Apakah yang dimaksud bagi mereka yang memiliki tanah, atau mereka yang tidak? Bagi orang-orang seperti kami yang tidak memiliki tanah, tidak ada masa depan di bidang pertanian'. Hara sering bergabung dengan kelompok panen untuk mendapat sedikit upah. Namun, ia berharap suatu hari nanti dapat bekerja sebagai asisten toko di pasar yang terletak di kota dekat tempat tinggalnya, meskipun ia tahu bahwa penghasilan bulanannya akan sangat rendah. Dengan pendapatan yang hanya Rp300.000 (A$30) per bulan, ia tidak akan mampu membayar biaya pulang-pergi sehari-hari dan terpaksa harus tidur di lantai toko.

Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa ada banyak generasi muda yang bisa menjadi petani, tetapi tidak ingin, dan ada orang lain yang akan dengan senang hati menjadi petani, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya. Apa yang ada di balik masalah ini?

Halangan untuk menjadi petani

Di sebagian besar desa, sistem kepemilikan tanah yang tidak adil, membuat kaum muda tidak memiliki kesempatan untuk menjadi petani – paling tidak selama mereka masih muda. Jumlah petani yang tidak memiliki lahan kian bertambah dan petani yang memiliki sendiri lahan yang diolahnya tidak mencapai setengah dari jumlah seluruh petani yang ada. Orang-orang yang berkesempatan untuk memiliki tanah saat mereka masih muda hanyalah orang yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki lahan yang luas. Namun, pada umumnya keturunan dari keluarga kaya tersebut memilih untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan meniti masa depan melalui pekerjaan yang memberikan gaji tetap; dimana orang tua mereka juga memiliki sumber daya untuk mendapatkan pekerjaan semacam ini bagi anaknya. Mereka mungkin suatu saat akan mewarisi dan memiliki tanah orang tuanya, tetapi mereka akan menggunakannya sebagai sumber pendapatan melalui sewa – mereka tidak tertarik untuk mengolah sendiri tanah tersebut.

Di sisi lain, kaum muda yang berasal dari keluarga petani sederhana mempunyai kemungkinan untuk mewarisi sebidang tanah. Sayangnya, lahan yang dimiliki orang tua mereka terlalu kecil sehingga tidak mungkin untuk menyerahkan sebagian lahan tersebut bagi anak-anaknya ketika mereka masih muda. Mereka mungkin telah berusia sekitar empat puluh atau lima puluh ketika akhirnya menerima tanah dari orang tua mereka. Bagi kaum muda yang orang tuanya tidak memiliki lahan, kesempatan yang ada hanyalah menjadi petani penggarap atau buruh tani, kecuali mereka dapat menemukan cara lain untuk memiliki sebidang tanah. Bagi Hara dan banyak pemuda-pemudi lainnya, satu-satunya cara untuk menjadi petani adalah dengan mencari pekerjaan di luar sektor pertanian (dan seringkali di luar desa) terlebih dahulu, kemudian berharap agar bisa menyimpan cukup uang untuk membeli atau menyewa sebidang tanah.

Membeli tanah kini menjadi pilihan yang sangat tidak memungkinkan  kecuali bagi orang kaya. Keadaan ini diakibatkan pembelian tanah secara spekulatif (oleh orang yang bukan petani) dan harga tanah yang semakin mahal. Di dua belas desa yang termasuk dalam daerah penelitian kami, harga satu hektar lahan pertanian beririgasi berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 1,5 miliar. Sedangkan upah setempat atau pendapatan dari sektor informal biasanya hanya mencapai Rp 1 juta per bulan. Upah buruh migran di pabrik atau perkebunan kelapa sawit di Malaysia adalah sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Dengan begitu, walaupun seorang pemuda dapat menyisihkan Rp 500.000 dari gajinya tiap bulan untuk ditabung, akan membutuhkan waktu 7 tahun (untuk kawasan paling murah di Sulawesi Selatan) sampai 100 tahun (di daerah paling mahal di Jawa Tengah) baginya untuk mampu membeli sawah yang hanya seluas 0,4 hektar.   

Maka tidak mengherankan jika begitu banyak kaum muda pedesaan yang memutuskan untuk merantau dan bekerja pada berbagai macam pekerjaan bergaji tetap atau bekerja di sektor informal, baik di luar provinsi maupun di luar negeri, misalnya Malaysia. Akan tetapi, keputusan kaum muda untuk bekerja di sektor pertanian atau tidak, dan untuk tinggal di desa atau bermigrasi, belum menjadi keputusan yang permanen. Banyak petani yang pernah bermigrasi ketika mereka masih muda lalu kembali lagi ke desanya ketika mereka telah memiliki modal atau ketika ada lahan yang tersedia bagi mereka.

Bertani menjadi cukup menarik bagi kaum muda ketika musim panen padi tiba. Dengan bekerja dalam kelompok menggunakan  sabit dan alat penuai padi, para pemanen bisa mendapatkan upah yang relatif baik sebesar Rp 40.000-50.000 per hari. Kegiatan ini masih merupakan sumber pendapatan yang diandalkan oleh para kaum muda yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki sedikit lahan. Selain itu, musim panen adalah kesempatan bagi para pemuda dan pemudi untuk bertemu. Beberapa anak, mulai dari usia sepuluh tahun, bersedia untuk membolos sekolah supaya dapat mengikuti kegiatan panen. Pada pagi hari, para pemanen tidak bisa saling mengenal satu sama lain karena wajah mereka ditutup agar terlindung dari panas dan cahaya matahari. Namun, selama masa istirahat di siang hari mereka melepaskan topi, berbincang-bincang, dan saling bertukar nomor telepon. Melalui cara inilah, banyak kaum muda mendapatkan kekasih, atau bahkan pasangan hidup yang akan mereka nikahi di masa depan.

Namun begitu, tradisi musim panen tersebut kini terancam oleh datangnya mesin penuai padi dari Jepang atau Cina yang tergolong murah. Mesin ini biasanya dimiliki oleh beberapa pemilik tanah terkaya di desa.

Satu mesin penuai padi (yang dioperasikan oleh dua pekerja) dapat menggantikan peran lima puluh pemanen padi yang bekerja dengan sabit. Mesin-mesin ini, yang bernilai sekitar Rp 390 juta, telah beroperasi di beberapa desa yang menjadi lokasi penelitian kami di Sulawesi Selatan dan juga telah tersedia di pulau Jawa. Bahkan, Kementerian Pertanian telah menghibahkan mesin penuai padi kepada beberapa kelompok tani dengan tujuan agar mereka dapat merasakan manfaat 'teknologi modern'. Namun, dalam konteks meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia, terutama tingkat pengangguran pada kaum muda, tentunya penerapan teknologi ini dirasa tidak sesuai. Alih-alih meningkatkan produktivitas atau memperbaiki kualitas hidup masyarakat, mesin ini hanya mengalihkan keuntungan yang seharusnya didapatkan oleh para pemanen padi ke kantong para pemilik mesin dan juga beberapa pekerja yang beruntung dapat mengoperasikan mesin tersebut.

Masalah citra?

Mungkin saja ada alasan lain mengapa meninggalkan desa menjadi hal yang menarik bagi kaum muda. Media massa sering menggambarkan kehidupan desa dan petani sebagai kehidupan yang miskin dan tertinggal. Padahal, banyak segi kehidupan di desa yang kini sedang berubah dengan cepat. Di banyak desa, konektivitas kini sebaik di kota; sepeda motor murah dan banyak tersedia; dan kaum muda terlihat sibuk dengan akun Facebook masing-masing. Beberapa tahun yang lalu, segala jenis telepon seluler (ponsel) adalah barang langka dan jarang dimiliki orang. Saat ini, masalahnya hanya terletak pada pilihan antara ponsel pintar atau ponsel biasa dan ponsel berkualitas tinggi atau ponsel murah buatan Cina. Di desa Kali Loro, Yogyakarta, misalnya, banyak anak yang telah mempunyai ponsel pribadi saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalaupun orang tuanya tidak mampu membelikan ponsel, mereka mungkin akan mendapat bantuan dari saudara kandung atau sepupu yang telah memiliki pekerjaan di luar desa. Anak-anak yang tidak memiliki ponsel pun masih dapat mengakses Facebook dengan meminjam ponsel temannya. Generasi muda saat ini telah terlibat secara aktif dengan ide-ide dan gaya hidup global, yang mungkin membuat mereka menanggapi kehidupan pedesaan dan pertanian dari sudut pandang yang berbeda dibandingkan dengan orang tua mereka.

Ponsel dan sepeda motor adalah bagian penting dari gaya hidup kaum muda di daerah pedesaan Yogyakarta / Bakti Utama

Dalam menyikapi migrasi kaum muda dan keputusan mereka untuk tidak menjadi petani, kita memerlukan perspektif jangka panjang dan lebih menyeluruh. Jika di masa depan kita menginginkan kebutuhan beras dan pangan lainnya di Indonesia dipenuhi oleh petani kecil, bukan oleh perusahaan perkebunan dan industri makanan besar yang disokong para teknokrat, maka kehidupan pedesaan dan pertanian harus dibuat lebih menarik bagi kaum muda. Kita perlu memiliki gagasan yang jelas tentang hambatan utama – baik secara praktis maupun budaya – yang menghalangi niat kaum muda untuk menjadi petani, baik saat masih muda, atau sebagai pilihan hidup kemudian. Pertama, masalah kaum muda dan aksesnya ke lahan perlu ditanggapi secara serius. Masalah lintas-generasi tersebut belum mendapat banyak perhatian di Indonesia, meskipun baru-baru ini beberapa penasihat Presiden yang baru terpilih sudah mulai mengangkat isu ini.

Kita perlu meninjau ulang kemungkinan untuk mengambil alih lahan sawah dari pasar pemilikan pribadi dan mengalokasikannya dalam bentuk hak guna bagi kaum muda; dan juga menemukan cara untuk mencegah adanya kegiatan investasi spekulatif yang melibatkan lahan pertanian. Spekulasi pada tanah adalah sesuatu yang buruk bagi perekonomian (karena merupakan kegiatan investasi yang tidak produktif dan merugikan), buruk bagi hubungan sosial di daerah pedesaan, dan seperti yang telah diutarakan di atas, buruk bagi masa depan kaum muda. Meskipun laki-laki dan perempuan secara formal mempunyai hak yang sama atas kepemilikan tanah, secara praktis terdapat banyak perbedaan dan hambatan yang menghalangi akses perempuan terhadap tanah dan kesempatan bertani.

Generasi muda Indonesia adalah sumber potensi yang paling penting dalam hal inovasi, energi, dan kreativitas dalam mengembangkan praktik pertanian baru yang produktif dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki citra dari pertanian dan kehidupan pedesaan melalui pendidikan dan media, terutama media sosial. Contoh nyata mengenai petani muda, baik laki-laki maupun perempuan, yang mempraktikkan cara baru, cerdas, dan kreatif dalam bertani dan kemudian sukses mencapai taraf hidup yang layak, berpotensi untuk memberikan dampak yang kuat. Bagi sebagian besar kaum muda yang kami wawancarai, bukanlah kehidupan pedesaan atau pertanian yang mendorong mereka untuk meninggalkan desa dan gaya hidup orang tuanya, tapi kurangnya pekerjaan dan pendapatan yang layak.

Yayasan AKATIGA (www.akatiga.org) telah aktif sejak tahun 1991 dalam penelitian, advokasi dan berbagi pengetahuan untuk menyokong transformasi sosial bagi kelompok rakyat tertinggal. Ben White adalah Profesor Emeritus Sosiologi Pedesaan di International Institute of Social Studies, Den Haag. Artikel ini mengacu pada tulisan Yogaprasta A. Adinugraha dan Rina Herawati yang diterbitkan di Jurnal Analisis Sosial 19 no. 1 (2015) dan penelitian Ben White yang sedang berlangsung pada kaum muda di desa Kali Loro, Yogyakarta. Nama-nama yang digunakan bukan nama asli.

Read article in English

Inside Indonesia 120: Apr-Jun 2015