Mengenal Butet Manurung

Published: May 11, 2016

Yulia Indri Sari

Translation by Samantha Howard

Namanya Saur Marlina Manurung, lebih dikenal sebagai Butet Manurung. Perempuan lulusan Antropologi Unpad yang bersuara halus ini dikenal atas komitmen dan dedikasinya untuk menjadi guru bagi Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi. Atas dedikasinya sebagai perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat pedalaman di Indonesia, di tahun 2014 Butet memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award. Sudah banyak yang menulis mengenai Butet. Pengalaman Butet menjadi guru bagi suku anak dalam ini juga pernah ditulis di Inside Indonesia di tahun 2008. Di tahun 2007, Butet menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku ‘Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba’). Bahkan di tahun 2013 Sokola Rimba diangkat menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Riri Riza dari ‘Miles Production’.

Wawancara ini ingin menggali lebih sesuatu yang belum banyak tertulis; perubahan apa yang terjadi di Sokola Rimba setelah 2008, pandangan-pandangan Butet mengenai Indonesia dan keseharian Butet ‘sesuatu yang sering terlewatkan orang dari sosok Butet’.

Butet dan Sokola Rimba

Perubahan apa saja yang terjadi di sokola rimba dari 2008 sampai saat ini dan mengapa perubahan ini terjadi?

Memang ada perubahan di Sokola Rimba. Sebelum 2008, slogan Sokola Rimba adalah ‘Pendidikan untuk masyarakat adat’. Sekarang kita (Sokola Rimba) mengganti slogan menjadi ‘Sokola literasi dan advokasi untuk komunitas adat di Indonesia’. Dulu, Sokola mengajarkan semua keahlian, ada elemen kecakapan hidup disana. Misalnya dulu punya masalah pembalakan liar, bagaimana caranya masyarakat adat melawan pembalakan liar, punya masalah bom ikan, bagaimana cara mengatasinya. Sokola berusaha mengatasi semua masalah. Akhirnya kita sadar bukan itu tujuan Sokola, bukan untuk mengatasi setiap masalah yang muncul. Kita sadar kita tidak memiliki sumber daya untuk menyelesaikan semua permasalahan. Permasalahan masyarakat adat itu banyak sekali. Kita juga merasa seperti menyuapi masyarakat adat. Setelah itu kita berpikir pentingnya masyarakat adat menyelesaikan dan mengelola masalahnya sendiri, bagaimana mengorganisir komunitasnya untuk memperjuangkan hak-haknya. Harusnya identifikasi masalah itu datangnya dari mereka, kita hanya memfasilitasi sehingga mereka mampu menyelesaikan masalah sendiri, menjalin jaringannya sendiri, dan membela masalahnya sendiri. Tentunya masyarakat adat tidak bisa menyelesaikan semua masalah, tetapi mereka tahu kemana harus bertanya. Jadi elemen di Sokola sejak itu berfokus pada pendidikan literasi dan pendidikan advokasi.

Selain itu, supaya dampak dari gerakan Sokola lebih besar, kita berharap sistem literasi dan advokasi Sokola bisa diadopsi berbagai pihak. Kadang Sokola dikontak untuk membantu masyarakat adat yang buta huruf, padahal kenapa tidak mereka sendiri yang bantu. Sekarang Sokola juga lebih banyak mengembangkan pelatihan sehingga pendidikan untuk masyarakat adat ini bisa dilsayakan oleh semua kalangan masyarakat. 

Bisa diceritakan mengenai pelatihan yang sekarang lebih banyak dikembangkan oleh Sokola.  Pelatihan  seperti apa yang lebih banyak dikembangkan oleh Sokola?

Pelatihan yang lebih banyak dikembangkan adalah pelatihan mengenai pemahaman komunitas adat supaya lembaga-lembaga di sekitar masyarakat adat yang berkepentingan atau yang bekerja untuk masyarakat adat misal universitas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) setempat, dan perusahaan memahami masyarakat adat. Kami punya seperangkat kurikulum untuk pelatihan ini. Yang terpenting dari pelatihan itu adalah yang kita sebut ‘Memahami Komunitas’. Ini tentang perspektif, yang kerap jadi kesalahan utama banyak kalangan saat berinteraksi dengan masyarakat adat. Perspektifnya harus sama dulu, harus berpihak pada mereka (masyarakat adat). Kami juga tidak setuju kalau pendidikan dikaitkan dengan agenda tertentu. Apakah masyarakat adat mau ke hutan atau harus ke kota bukan urusan Sokola, tapi yang penting masyarakat adat dibuat mandiri. Kita juga mengajarkan untuk memahami ‘orang luar’ kepada Orang Rimba, agar mereka bisa membantu orang luar memahami mereka. Contohnya dulu orang rimba sering diejek orang luar terus mereka malu dan menangis. Sekarang mereka tidak lagi menangis karena mereka juga diajarkan untuk memahami perspektif orang luar. Sekarang Orang Rimba kalau ditanya kenapa tidak pakai baju, mereka akan menjawab ‘karena ini pakaian yang kami sudah pakai dari dulu, kalau pakai cawat kita bisa manjat pohon…’. Begitupula jika misalnya orang rimba ditertawakan kafir oleh orang desa, mereka akan menjawab  ‘Agama itu apa? Kami juga percaya dengan kekuatan lain selain manusia, nama agamanya saja yang tidak ada di enam agama yang disayai pemerintah’.   

Apa yang melatar-belakangi atau mendorong Sokola untuk mengganti pendekatan terhadap masyarakat adat?

Awalnya karena kelelahan, dan berpikir kita bukan ‘Superman’. Sebenarnya dari dulu sudah kelelahan. Waktu itu kita mendampingi masyarakat di Flores yang mengalami masalah bom ikan. Orang-orang kelaparan dan seolah-olah Sokola merasa harus mengatasi. Puncaknya sebetulnya pada waktu di Halmahera untuk mendampingi Suku Togutil. Permasalahan yang dihadapi Suku Togutil sangat kompleks. Ada permasalahan dengan tambang emas, kelompok misionaris dan yang lebih sering orang desa sekitar hutan dan para transmigran. Semua pihak punya agenda sendiri dan mengambil keuntungan dari masyarakat adat. Orang desa menganggap adat Suku Togutil tidak lazim, seperti tradisi adat perang dan hubungan sedarah. Kalau Sokola hanya mengajarkan spesialisasi kami yaitu membaca dan menulis itu lebih mudah, karena tidak mungkin kita bisa menyelesaikan semua persoalan yang kompleks tadi. Untungnya di sana (Halmahera) ada LSM setempat, namanya Pilas. Sokola ingin LSM setempat yang menjadi sahabat komunitas adat untuk belajar mandiri. Sokola tidak bisa lama-lama di satu tempat, kalau lama-lama tidak baik, karena artinya Sokola tidak berhasil.  Waktu itu Dodi dari Sokola mengajari LSM Pilas pendekatan antropologis untuk mengkaji masalah dari pandangan masyarakat. Kita ingin LSM punya keberpihakan kepada komunitas masyarakat adat, tidak asal menghakimi sebagai kelompok yang harus dimusnahkan tapi didampingi supaya mandiri. Sepulang dari Halmahera itulah kita menyadari Sokola tidak mau terlibat menyelesaikan semua masalah dan menyadari bahwa jaringan LSM setempat dengan masyarakat adat itu sangat penting.

Apa peran anda di Sokola saat ini?  

Sekarang saya lebih banyak melakukan pelatihan, bergerak di luar masyarakat adat. Sebenarnya saya lebih suka di lapangan saja, tapi saat ini saya lebih berguna di luar. Tapi porsi kami para pendiri dan mentor di Sokola di lapangan tidak berkurang, kita masih datang ke lapangan sekitar 1-2 bulan per semester. Karena sudah banyak yang tahu Sokola, permintaan pelatihan untuk pelatih (‘Training for trainers’) juga semakin banyak.  Pelatihan ini juga sekalian untuk menggalang pendanaan untuk Sokola. Sebagai salah satu mentor, selain melakukan pelatihan dan penggalangan dana, saya juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor di Jakarta. 

Apa tantangan kelembagaan terbesar yang dihadapi oleh Sokola saat ini? 

Selain pendanaan, yang klise, saat ini Sokola paling bingung dengan kaderisasi. Bagaimana menurunkan keahlian dari pendiri ke yang baru. Di luar pendiri, kader yang punya kapasitas yang sama hanya tiga orang. Yang dimaksud dengan kapasitas yang sama misalnya punya keahlian dan kemandirian untuk ditempatkan dimana saja dan mengelola program dengan satu komunitas dari awal hingga mereka mandiri. Misalnya kalau harus terjun mendamping komunitas adat di Papua, bisa tahu bagaimana mengajarkan membaca dan menulis sambil mencari pendanaan dan pelatihan. Mungkin kendalanya karena Sokola tidak bisa memberi banyak secara materi sehingga kader terbentur oleh tuntutan bukan dari mereka sendiri tapi dari keluarga. Biasanya setelah tiga tahun di Sokola, dianggap sudah cukup melakukan pengabdian dan pengorbanan. Selanjutnya cari kerja di luar yang lebih menjanjikan secara materi.  Walau demikian, kita masih dekat. Sampai sekarang kalau kumpul, masih banyak alumni (kader) yang datang, mereka selalu kangen ke lapangan.

Terkait dengan aspek yang sering menjadi dilema pekerja LSM seperti Butet, antara jiwa untuk melakukan pendampingan dan tuntutan materi, bagaimana pendiri Sokola mengatasi persoalan ini?

Selain karena kita senang dengan pekerjaan yang dilakukan, pelatihan ini juga menjadi solusi kita mendapatkan penghasilan. Selain untuk pendanaan lembaga, ada honor untuk pengajar. Selain itu para pendiri juga punya keahlian masing-masing yang bisa menjadi sambilan. Sambilan ini tentunya dikerjakan di luar tugas-tugas Sokola. Setiap pendiri punya keahlian. Ada yang menjadi mitra penelitian untuk masyarakat adat, ada yang juga jago melukis. Mereka juga sering ditawari gaji besar di luar, tapi tetap di Sokola. Untungnya pengelolaan waktu di Sokola bisa diatur, bisa ada waktu untuk sambilan. 

Selain dari itu, pasangan juga mempengaruhi. Dari empat pendiri, selain saya, dua lagi adalah sepasang suami istri. Satu lagi mendapatkan istri yang punya kapasitas dan visi sama. Pasangan itu pengaruhnya besar, harus punya pasangan yang mengerti.  

Apa yang membuat empat pendiri ini rukun?

Awalnya ada lima pendiri. Satu orang diminta membantu perkebunan keluarga istrinya. Tapi sampai sekarang dia masih membantu kerja-kerja Sokola. Dari empat ini, mungkin karena kita teman baik. Misalnya sama Dodi, aku dan dia sudah berteman dari tahun 1991. Sebentar lagi pertemanan perak (tertawa). Kita berdua ini sama-sama tipe ‘sanguin’, seperti orang sirkus dan berisik. Kita berdua juga suka berantem karena saking sudah menjadi temen suka ngomong jujur apa adanya. Pertemanan kami sudah teruji, sering berada di keadaan kritis beberapa kali. Misalnya saya dan Dodi pernah nyasar di hutan empat hari gak ketemu jalan yang benar. Di empat hari itu lapar bareng, permen pun dibagi. Kalau yang kerja di kota, banyak yang bisa diandalkan. Kalau di rimba, kita hanya bisa mengandalkan teman. Misalnya saya beberapa kali arung jeram dan tenggelam, hilang di gunung, Dodi pasti terjun mencari. Kadang kalau ada yang ngambek, kita diamkan saja dulu. Teman sejati, pasti mencari. Sudah seperti keluarga. Dengan Indit, sudah temenan dari 2003, dia dulu teman sekamar waktu kami sama-sama kerja di WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia).

Kapan terakhir bertemu murid-murid (Orang Rimba) Butet? Apa pertanyaan mereka yang paling berkesan buat Butet?

Pengendum dan Mijak, -murid saya Orang Rimba-, itu kader yang paling oke. Mereka sudah bikin lembaga setempat yang anggotanya adalah kader-kader guru rimba. Mereka sering ke Jakarta, diundang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), diundang Komnas Perempuan juga. Saya terakhir bertemu Pengendum bulan Juni 2015.  Bertemu Mijak di Jakarta, Desember 2015 waktu ada seminar. Sudah gaya sekarang, kadang mereka bilang ‘Maaf Bu saya sibuk, cuma ada waktu tiga jam hari ini’.  

Murid-murid yang di Rimba itu yang lucu-lucu. Misalnya saya ingat waktu pertama ke Jakarta, saat mereka pertama kali melihat rumahku, mereka menanyakan bagaimana saya melakukan ‘melangun’. Dalam adat Orang Rimba, ‘melangun’ itu membawa rumah beserta seluruh isinya jika ada salah satu kerabat di kelompok mereka meninggal. Terus mereka juga heran ketika saya sudah menikah kenapa saya sekali-sekali harus ke Canberra. Padahal menurut mereka harusnya suami saya yang tinggal di Indonesia.  Dalam adat Orang Rimba, laki-laki tinggal bersama istri dan harus mengurus mertua hingga usai hayatnya. Mereka tanya ‘Kok Ibu tega sekali, kamu ini anak keparat, kenapa suamimu tidak disuruh tinggal, nanti siapa yang ngurus nenek?’. 

Sokola Rimba, Film dan Buku

Film Sokola Rimba sudah diputar tahun 2013, apakah ada dampak dari pemutaran film tersebut terhadap Sokola?

Kalau melihat dari lembaga, tidak ada. Tadinya saya punya harapan film ini akan mendorong mewacanakan pendidikan kontekstual secara nasional, tapi ternyata tidak. Juga harapannya akan membantu pendanaan Sokola, tapi juga tidak. Sebaliknya justru banyak yang berpendapat kalau sudah ada film, pendanaannya justru sudah kuat. 

Film membantunya tidak langsung. Kalau ada lembaga yang ingin membantu keuangan, tidak perlu repot menjelaskan karena sudah tahu filmnya. Sayangnya yang justru menawarkan bantuan setelah film ini ada adalah kelompok  yang masuk daftar hitam (‘blacklist’). Beberapa perusahaan tambang atau kelapa sawit misalnya, punya rekam jejak (‘track record’) tidak baik dengan kehidupan masyarakat adat, jadi biarpun ngiler, kita terpaksa harus tolak, karena tidak etis. Daripada gak enak nelen makan seumur hidup, kerikil yang nancep di tenggorokan gak akan hilang-hilang. Itu yang saya selalu tekankan ke tim, jangan menerima pendanaan dari mereka.  Mending tidur enak tapi bangun miskin. Pihak lain yang bantuannya biasanya juga tidak bisa kami terima adalah bantuan beragenda politik dan agama, tapi ini juga tergantung dari tipe komunitasnya. Kan ada komunitas yang sudah berinteraksi dengan kelompok agama tertentu jauh sebelum Sokola datang. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang netral justru masih banyak yang tidak tertarik, biasanya alasannya karena lokasi-lokasi Sokola yang pedalaman, susah dikunjungi dan dipublikasikan.

Tapi film sangat membantu dalam mengubah perspektif masyarakat biasa. Orang mengerti kalau masyarakat adat itu perlu pendidikan. Setidaknya mereka paham pendidikan yang kontekstual perlu untuk membantu masyarakat adat sesuai kehidupan mereka. Kesan ini yang saya dapat waktu berdialog dengan penonton paska pemutaran film. Sedikit banyak juga mengubah pendekatan guru-guru di pedalaman kalau ada anak di kelas mereka yang merupakan bagian masyarakat adat. Bahkan guru–guru di sekolah formal pun mengaku belajar banyak dari film tersebut.

Yang paling berkesan kalau memutar film di luar negeri. Kalau di Indonesia lebih banyak yang bertanya tentang saya sendiri, kalau dulu gimana, kalau sekarang gimana. Kalau di luar, biasanya penonton tertarik untuk bertanya hal-hal atau isu yang lebih besar seperti bagaimana supaya pendekatan Sokola ini bisa dilakukan di berbagai tempat, tantangannya seperti apa, dan bagaimana mengatasi tantangan tersebut. Mereka juga menjadi lebih empati dan respek terhadap orang yang tinggal di pedalaman. 

Bagaimana dampak film terhadap penjualan buku Sokola Rimba (pertama kali diterbitkan tahun 2007)?

Justru itu dampak yang terbesar. Setelah film, bukunya keangkat lagi. Awal penerbitan, saya menggunakan penerbit kecil di Yogyakarta. Setelah itu pindah ke Kompas Gramedia supaya bisa sampai ke banyak orang. Buku yang kira-kira terjual setelah pemutaran film bisa mencapai 13.000 eksemplar. Kalau di Indonesia kan lebih banyak yang ingin baca buku setelah nonton film, bukan sebaliknya. Penjualan buku ini juga bisa menjadi salah satu sumber pendanaan buat Sokola. 

Butet dan Indonesia

Apa pandangan Butet terhadap kondisi Indonesia saat ini? Apa tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini?

Kalau secara umum, saya melihat bahwa Indonesia, tidak hanya di Indonesia sih, suka sekali mengukur kesuksesan dengan pendapatan per kapita.  Tapi saya suka mempertanyakan kenapa tidak ada yang mengukur lawan dari pendapatan. Kenapa tidak ada ukuran ‘kehilangan per kapita’. Padahal banyak sekali kan kehilangan yang dialami Indonesia seperti kehilangan keragaman tanaman, binatang langka, bahasa ibu, kekayaan intelektual orang setempat, polusi yang semakin banyak, orang setempat yang tahu semua rempah di Indonesia dan pertanian padi sawah. Padahal menurutku, karena terlalu mengglobal dan pendidikannya seragam, Indonesia ini paling banyak kehilangan kekayaan setempat.  Selain uang, Indonesia sebenarnya semakin miskin. 

Bagaimana dengan kondisi Pendidikan di Indonesia? 

Tantangan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang menyeragamkan. Padahal pendidikan yang menyeragamkan itu akan melemahkan keragaman kapasitas setempat. Itu pasti. Kalau seumur hidup si ikan disuruh percaya dia tidak pandai berenang, dia akan merasa bodoh, dia tidak pernah tahu bahwa dia pandai berenang. Lha, katanya Bhineka Tunggal Ika, kok pendidikannya di pedalaman pun seragam?

Kalau Butet diminta memberikan rekomendasi sistem pendidikan di Indonesia, rekomendasi apa yang diberikan?

Kalau misalnya saya diberi kesempatan untuk mengubah pendidikan, saya akan menguatkan sistem pendidikan kontekstual. Juga saya akan melibatkan orang setempat untuk mengajar. Misalnya kalau ada orang setempat yang ilmunya tumbuhan obat, dia harus mengajarkan tentang itu, ilmunya berburu ya mengajarkan berburu. Orang-orang setempat bisa menguatkan kapasitas setempatnya dan yang dari luar mengajarkan hal-hal yang perlu saja seperti baca, tulis, hitung, dan beberapa tambahan yang relevan. Jadi jangan ada lagi pertanyaan kenapa guru di pedalaman kok jarang di tempat. Ya karena bukan jiwanya ingin disitu dan mereka mengajarkan ilmu asing dengan cara asing yang tidak menarik buat orang setempat. Ya kayak itu tadi, guru memanjat datang ke sekumpulan ikan. Harusnya satu komunitas itu belajar tentang kekuatannya sendiri dari orang-orangnya sendiri. Orang luar hanya fasilitator saja. Dengan demikian mereka jadi menyadari apa yang kurang dari kapasitas mereka, nah di sisi itulah guru dari luar masuk mengisinya.

Banyak pengetahuan yang tidak relevan yang tidak bersumber dari masalah setempat dan kekuatan yang ada di setempat. Misalnya setiap hari kena malaria, dan dikejar-kejar pembalakan liar, terus misalnya di sekolah malah belajar planet Saturnus. Kenapa tidak ada kurikulum yang terkait dengan persoalan setempat di sekolah pedalaman. Misalnya orang puskesmas datang mengajarkan tentang malaria atau ahli hukum untuk mengajarkan mengatasi pembalakan liar. Juga tidak ada pelajaran mengendalikan hama bagi petani. Yang ada juga orang jualan pupuk (tertawa). Orang sekarang kalau lulus SMA (Sekolah Menengah Atas), inginnya kerja kantoran. Tidak ada yang ingin jadi petani atau berkebun misalnya. Padahal yang penting menjaga kekuatan dan kekayaan setempat.

Sudah pernah diminta membantu Kemdikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan)? 

Saya sering disuruh Kemdikbud cerita soal rimba untuk menyemangati, lebih untuk menjadi motivator. Padahal saya ingin bicara soal yang lebih besar mengenai perspektif, ideologi dan sistem pendidikan yang dampaknya lebih besar. Padahal waktu diundang untuk makan malam di rumahnya, saya pernah bilang ke Pak Anies, saya siap dipanggil kalau Kemdikbud memerlukan. Tapi sampai sekarang belum ada. 

Sesuatu yang sering terlewatkan orang dari sosok Butet

Berbicara mengenai kondisi Butet saat ini yang membagi waktu antara Indonesia dan Australia, bagaimana hal ini mempengaruhi Sokola?

Setelah ada Marley, anak lelaki saya, biasanya saya enam bulan di Canberra, enam bulan di Indonesia. Dulunya tiga bulan di Canberra, sembilan bulan di Indonesia.  Sokola ini agak terguncang juga sejak saya bolak-balik Indonesia-Australia. Karena ternyata banyak lembaga yang secara khusus minta harus bertemu saya. Bahkan donor atau lembaga yang ingin membantu keuangan harus sama saya. Saya terganggu sekali sebetulnya kenapa harus terjadi pengkultusan individu, padahal pendiri-pendiri lainnya di Sokola juga sama kapasitasnya. Saya bingung juga harus bagaimana, inginnya ini berubah. 

Dikenal orang kadang-kadang bikin saya terganggu. Tapi ya saya juga tahu ini aset supaya suara saya didengar, supaya nilai Sokola dan juga suara Orang Rimba itu tersampaikan. Saya berharap jadi inspirasi, apalagi sama yang muda-muda. Saya ingin membangun dan mengembangkan jiwa sukarela.  Saya sering bilang ke mereka, kalau ingin tidur enak, ya harus banyak kerja sukarela, ‘jadi kamu bisa lebih bahagia dengan dirimu sendiri (so you can feel good about yourself)’.  Misalnya saya terharu dengan reaksi murid-murid di rimba waktu mendengar ada gempa di Padang. Mereka langsung cari sumbangan, terus ke Padang dan bantu bikin dapur umum. Mereka kan sudah terlatih bikin dapur umum. Mereka lebih cepat (membuat dapur umum) daripada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), kan sejak kecil sudah ahli milih kayu dan bikin api.

Dari sisi manajemen kantor juga agak terganggu. Walaupun saya berantakan, tapi masih suka ngecek-ngecek dan mengingatkan orang-orang. Katanya gak ada kak Butet, longgar banget. 

Saat ini kalau di Canberra, saya tetep berusaha membangun semangat sukarela dan keberpihakan terhadap masyarakat adat dengan menulis. Terakhir saya menulis untuk Kompas 3 November 2015 ‘Apa yang salah dengan volunter’. Saat ini saya sedang rencana menulis ‘Wanita dan petualangan’ dan ‘Tentang masyarakat adat’. Sekarang saya juga lagi ikut kelas menulis untuk masyarakat adat (‘Indigenous study writing’) di ANU (Australian National University).  

Apa yang orang sering salah duga tentang Butet?

Orang-orang sering menyangka saya galak karena saya orang Batak dan di foto sering terlihat cemberut. Padahal saya tuh orangnya ancur dan suka bercanda. Kadang mahasiswa di acara yang diselenggarakan universitas deg-degan bertemu karena disangka saya ini ibu guru galak. Apalagi Batak dan sering di rimba, pasti galak banget. Eh, ternyata gak galak. Selain itu banyak yang nyangkain saya badannya gede dan kekar karena sering ke hutan bawa tas. Padahal aslinya kurus, kecil, dan ceking. Suaranya halus lagi. 

Apa cara Butet mengatasi stres?

Kalau di kota, saya senang nonton. Apapun yang berbentuk film saya suka. Sukanya film detektif, kayak cerita CSI (Crime Scene Investigation), atau film Poirot, Sherlock Holmes. Semacam detektif misteri. Baru-baru ini saya nonton film yang paling fenomenal dan semakin membuka cakrawala saya. Judulnya ‘The Danish girl’. Film ini bercerita tentang Einar Wegener, salah satu pria pertama di Eropa yang menjalani operasi ganti kelamin sekitar tahun 1920-an. Saya gak tahu apakah film ini diputar juga di Indonesia. 

Apakah ada hal-hal lain tentang kehidupan yang selalu dipikirkan oleh Butet?

Saya tertarik dengan kehidupan setelah mati. Katanya energi itu gak bisa hilang atau dimusnahkan, dia hanya berubah bentuk. Saya selalu berpikir kalau saya mati, apakah saya tetap bisa merasakan dan berpikir dengan semua memori yang saya punya saat hidup. Kalau memang iya, saya senang karena saya suka hidup saya. Saya penasaran apakah manusia yang sudah mati masih merasakan hal yang sama dan kemana jiwanya. 

Yulia Indri Sari is a student at ANU and friend of Butet Manurung. 

 

Inside Indonesia 124: Apr-Jun 2016 {jcomments on}